Islam

Semangat Belajar dan Meneliti Ilmu Kedokteran

Ilmu kedokteran dan pengobatan merupakan ilmu yang cukup penting bagi manusia. Apabila para ulama adalah orang yang mengobati penyakit hati, maka para tabib dan dokter adalah orang yang mengobati penyakit badan. Kedua penyakit ini, yaitu penyakit hati dan badan asalnya adalah pengganggu bagi manusia, sehingga syariat menuntun manusia untuk menyembuhkan kedua penyakit ini.
.
Imam Asy-Syafi’i menjelaskan pentingnya ilmu kedokteran. Beliau berkata,

لا أعلم علما بعد الحلال والحرام أنبل من الطب إلا أن أهل الكتاب قد غلبونا عليه.
.
“Saya tidak mengetahui sebuah ilmu -setelah ilmu halal dan haram- yang lebih berharga yaitu ilmu kedokteran, akan tetapi ahli kitab telah mengalahkan kita.” [Siyar A’lam An-Nubala 8/528, Darul Hadits]
.
Imam Syafi’i juga menekankan bahwa di amtara ilmu dunia, ilmu kedokteran salah satu yang paling penting. Beliau berkata,

إنما العلم علمان: علم الدين، وعلم الدنيا، فالعلم الذي للدين هو: الفقه، والعلم الذي للدنيا هو: الطب.
.
“Ilmu itu ada dua: ilmu agama dan ilmu dunia, ilmu agama yaitu fiqh (fiqh akbar: aqidah, fiqh ashgar: fiqh ibadah dan muamalah, pent). Sedangkan ilmu untuk dunia adalah ilmu kedokteran.”[Adab Asy-Syafi’i wa manaqibuhuhal. 244, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah]
.
Beberapa ulama menekankan agar kaum muslimin terus mempelajari, meneliti dan mengembangkan ilmu kedokteran. Terdapat hadits yang menyebutkan bahwa setiap penyakit pasti ada obatnya, sehingga kaum muslimin dimotivasi agar meneliti dan menemukan obat tersebut.

Beberapa ulama menekankan agar kaum muslimin terus mempelajari, meneliti dan mengembangkan ilmu kedokteran. Terdapat hadits yang menyebutkan bahwa setiap penyakit pasti ada obatnya, sehingga kaum muslimin dimotivasi agar meneliti dan menemukan obat tersebut.
.
Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
.
ياعباد الله تداووا فإن الله- تعالى- لم يضع داء إلا و ضع له دواء
.
“Wahai hamba-hamba Allah. Berobatlah kalian. Sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah meletakkan satu penyakit kecuali Ia juga akan meletakkan padanya obat.”[HR. Tirmidzi, shahih]
.
Syaikh Abdurrahman As-Sa’diy menjelaskan bahwa hadits ini adalah motivasi untuk belajar ilmu kedokteran, beliau berkata,
.
ﻭﻓﻲ ﻫﺬﺍ : ﺍﻟﺘﺮﻏﻴﺐ ﻓﻲ ﺗﻌﻠﻢ ﻃﺐ ﺍﻷﺑﺪﺍﻥ، ﻛﻤﺎ ﻳﺘﻌﻠﻢ ﻃﺐ ﺍﻟﻘﻠﻮﺏ، ﻭﺃﻥ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ ﺟﻤﻠﺔ ﺍﻷﺳﺒﺎﺏ ﺍﻟﻨﺎﻓﻌﺔ . ﻭﺟﻤﻴﻊ ﺃﺻﻮﻝ ﺍﻟﻄﺐ ﻭﺗﻔﺎﺻﻴﻠﻪ ﺷﺮﺡ ﻟﻬﺬﺍ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ؛ ﻷﻥ ﺍﻟﺸﺎﺭﻉ ﺃﺧﺒﺮﻧﺎ ﺃﻥ ﺟﻤﻴﻊ ﺍﻷﺩﻭﺍﺀ ﻟﻬﺎ ﺃﺩﻭﻳﺔ . ﻓﻴﻨﺒﻐﻲ ﻟﻨﺎ ﺃﻥ ﻧﺴﻌﻰ ﺇﻟﻰ ﺗﻌﻠﻤﻬﺎ، ﻭﺑﻌﺪ ﺫﻟﻚ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻌﻤﻞ ﺑﻬﺎ ﻭﺗﻨﻔﻴﺬﻫﺎ . ﻭﻗﺪ ﻛﺎﻥ ﻳﻈﻦ ﻛﺜﻴﺮ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺃﻥ ﺑﻌﺾ ﺍﻷﻣﺮﺍﺽ ﻟﻴﺲ ﻟﻪ ﺩﻭﺍﺀ، ﻛﺎﻟﺴﻞ ﻭﻧﺤﻮﻩ . ﻭﻋﻨﺪﻣﺎ ﺍﺭﺗﻘﻰ ﻋﻠﻢ ﺍﻟﻄﺐ، ﻭﻭﺻﻞ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺇﻟﻰ ﻣﺎ ﻭﺻﻠﻮﺍ ﺇﻟﻴﻪ ﻣﻦ ﻋﻠﻤﻪ، ﻋﺮﻑ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻣﺼﺪﺍﻕ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ
.
“Pada hadits ini terdapat motivasi agar mempelajari ilmu kedokteran/penyembuhan penyakit badan sebagaimana motivasi untuk mempelajari ilmu penyembuhan penyakit hati, karena pada ilmu ini ada manfaat. Semua dasar ilmu kedokteran dan rinciannya dijelaskan dari hadits ini, karena Pembuat Syariat (Allah) telah mengabarkan kepada kita bahwa semua penyakit ada obatnya. Hendaknya kita bersegera/berusaha mempelajarinya, kemudian mengamalkanya. Banyak orang mengira bahwa sebagian penyakit tidak ada obatnya seperti penyakit tuberculosis (TBC), akan tetapi tatkala ilmu kedokteran berkembang, manusia mencapai apa yang telah dicapai sekarang dan manusia menjadi tahu kebenaran hadits ini.” [Bahjatu Qulubil Abrar Hal. 174]
Agama Islam memotivasi agar terus meneliti ilmu kedokteran, karena manusia sangat butuh orang yang bisa mengobati penyakit badan. Sampai-sampai Imam Syafi’i membuat ungkapan sebagai berikut:
.
لا تسكنن بلدا لا يكون فيه عالم يفتيك عن دينك، ولا طبيب ينبئك عن أمر بدنك
.
“Janganlah sekali-kali engkau tinggal di suatu negeri yang tidak ada di sana ulama yang bisa memberikan fatwa dalam masalah agama, dan juga tidak ada dokter yang memberitahukan mengenai keadaan (kesehatan) badanmu.”[Adab Asy-Syafi’i wa manaqibuhuhal. 244, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah]
.
Imam Asy-Syafi’i juga menekankan bahwa kaum muslimin hendaknya jangan tertinggal dalam ilmu kedokteran. Beliau mengatakan bahwa ahli kitab yaitu Yahudi dan Nashari telah selangkah lebih maju dan menguasai ilmu kedokteran. berkata,
.
ضَيَّعُوا ثُلُثَ العِلْمِ وَوَكَلُوهُ إِلَى اليَهُوْدِ وَالنَّصَارَى.
.
“Umat Islam telah menyia-nyiakan sepertiga Ilmu (ilmu kedokteran) dan meyerahkannya kepada umat Yahudi dan Nasrani.”[Siyar A’lam An-Nubala Adz-Dzahabi 8/258]
.
Syaikh Muhammad Ast-Syinqitiy berkata menjelaskan perkataan Imam Asy-Syafi’i,
.
لماذا ثلث العلم؟! لأن علم الشرع على ضربين: علم يتعلق بالاعتقاد، وعلم يتعلق بالأبدان والجوارح، فأصبح علم بالظاهر وعلم بالباطن، علم التوحيد وعلم الفروع التي هي محققة للتوحيد، فهذان علمان فهما طب الروح والجسد، بقي طب البدن من الظاهر وهو العلم الثالث، فقال رحمه الله من فهمه وفقهه: [ضيعوا ثلث العلم ووكلوه إلى اليهود والنصارى] يعني احتاجوا إلى اليهود والنصارى
.
“Mengapa sepertiga Ilmu? Karena ilmu syar’i ada dua: [1] ilmu yang berkaitan dengan keyakinan [2] ilmu yang berkaitan dengan badan dan anggota badan. Jadi lah dua yaitu ilmu dzahir dan ilmu batin. Ilmu tauhid dan cabangnya yang merupakan realisasi dari tauhid. Kedua ilmu ini adalah pengobatan ruh dan jasad. Tersisa pengobatan badan dari bagian ilmu dzahir yaitu ilmu ketiga. Inilah yang dimaksud oleh perkataan Imam Asy-Syafi’i dari pemahamannya,

“Umat Islam telah menyia-nyiakan sepertiga Ilmu (ilmu kedokteran) dan meyerahkannya kepada umat Yahudi dan Nasrani.”

Yaitu maksudnya butuh terhadap orang yahudi dan nashrani (jika ingin berobat, karena tidak ada/sedikit kaum muslim yang menguasai ilmu kedokteran).”[Durus Syaikh Muhamma
Syaikh Muhammad Ast-Syinqitiy berkata menjelaskan perkataan Imam Asy-Syafi’i,
.
لماذا ثلث العلم؟! لأن علم الشرع على ضربين: علم يتعلق بالاعتقاد، وعلم يتعلق بالأبدان والجوارح، فأصبح علم بالظاهر وعلم بالباطن، علم التوحيد وعلم الفروع التي هي محققة للتوحيد، فهذان علمان فهما طب الروح والجسد، بقي طب البدن من الظاهر وهو العلم الثالث، فقال رحمه الله من فهمه وفقهه: [ضيعوا ثلث العلم ووكلوه إلى اليهود والنصارى] يعني احتاجوا إلى اليهود والنصارى
.
“Mengapa sepertiga Ilmu? Karena ilmu syar’i ada dua: [1] ilmu yang berkaitan dengan keyakinan [2] ilmu yang berkaitan dengan badan dan anggota badan. Jadi lah dua yaitu ilmu dzahir dan ilmu batin. Ilmu tauhid dan cabangnya yang merupakan realisasi dari tauhid. Kedua ilmu ini adalah pengobatan ruh dan jasad. Tersisa pengobatan badan dari bagian ilmu dzahir yaitu ilmu ketiga. Inilah yang dimaksud oleh perkataan Imam Asy-Syafi’i dari pemahamannya,
“Umat Islam telah menyia-nyiakan sepertiga Ilmu (ilmu kedokteran) dan meyerahkannya kepada umat Yahudi dan Nasrani.”
Yaitu maksudnya butuh terhadap orang yahudi dan nashrani (jika ingin berobat, karena tidak ada/sedikit kaum muslim yang menguasai ilmu kedokteran).”[Durus Syaikh Muhammad Asy-Syinqitiy, sumber:http://islamport.com/w/amm/Web/1583/866.htm%5D

Jangan sampai umat Islam kalah dalam dengan ahli kitab dalam masalah ini. Kita bisa lihat di zaman ini di mana ilmu kedokteran lebih dikuasai oleh negara barat.
Tidak sedikit Ahli kitab memanfaatkan ilmu kedokteran agar kaum muslimin mengikuti mereka (masuk agama mereka) dengan pengobatan gratis atau mendirikan rumah sakit besar dan rujukan. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa orang yang sakit memiliki jiwa yang labil dan mudah dipengaruhi.
.
Allah berfirman mengingatkan kita akan tidak ridhanya Yahudi dan Nashrani terhadap umat Islam dan selalu berupaya agar kaum muslimin mengikuti dan masuk ke agama mereka.
.
ولن ترضى عنك اليهود ولا النصارى حتى تتبع ملتهم
.
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.” (Al-Baqarah: 120).
.
Demikian semoga bermanfaat
.
Penyusun: Raehanul Bahraen
Artikel http://www.muslim.or.id

Islam

Sanggahan Terhadap Pernyataan Kufur Pembenci Nabi Shalallahu Alahi Wassallam

Oleh: Amir As-Soronji

Pertama: Tidak ada budak Nabi shalallahu alahi wassallam yang bernama Maryam.

Kedua: Pernikahan Nabi shalallahu alahi wassallam dengan Zainab bin Jahsy itu adalah perintah Allah, bahkan Allah sendiri yang bertindak sebagai walinya. (Lihat Q.S Al-Ahzab: 37). Hal itu untuk menghapus adat jahiliyyah yang sudah mendarah daging yaitu masalah adopsi anak. Anak adopsi memiliki kehormatan dan hak yang sama dengan anak kandung. Prinsip ini telah mengakibatkan banyak kerusakan dan kekejian di mana Islam datang untuk menghapusnya.

Ketiga: Rasulullah menikahi Aisyah binti Abu Bakar untuk meperkuat hubungan beliau dengan Abu Bakar yang terkenal perjuangan dan pengorbanannya untuk Islam pada masa-masa krisis yang melanda perjalanan perjuangan Islam.

Keempat: Siapa saja yang memperhatikan kehidupan Rasulullah shalallahu alahi wassallam, niscaya ia akan mengetahui bahwa poligami yang beliau lakukan mempunyai tujuan-tujuan mulia dan agung, diantaranya:

● Untuk memperkuat hubungan beliau dengan keluarga-keluarga wanita yang beliau nikahi. Orang-orang Arab mempunyai adat kebiasaan di mana mereka sangat memuliakan ikatan perkawinan. Menurut mereka ikatan perkawinan merupakan salah satu pintu dari pintu-pintu yang mengakrabkan antara kabilah-kabilah yang berbeda. Mereka memandang memerangi orang-orang yang berada dalam ikatan perkawinan merupakan perbuatan tercela dan aib bagi diri mereka. Maka dengan menikahi banyak wanita, Rasulullah shalallahu alahi wassallam ingin memutus bentuk permusuhan kabilah-kabilah terhadap Islam dan meredam ketajaman kebencian mereka.

1. Ummu Salamah misalnya, ia berasal dari Bani Makhzum kerabat Abu Jahal dan Khalid bin Walid. Ketika Rasulullah shalallahu alahi wassallam menikahinya, maka Khalid bin Walid tidak lagi bersikap keras terhadap kaum muslimin sebagaimana sikap kerasnya dalam perang Uhud, bahkan tidak lama kemudian ia masuk Islam.

2. Ummu Habibah binti Abi Sufyan. Setelah Rasulullah shalallahu alahi wassallam menikahinya, Abu Sufyan tidak pernah memerangi Rasulullah dengan peperangan apapun.

3. Juwairiyah binti al-Harits pemimpin Bani Musthaliq. Begitu Rasulullah shalallahu alahi wassallam menikahinya, Bani Musthaliq tidak lagi meneror dan memusuhi beliau.

4. Demikian pula Bani Nadhir tidak pernah meneror dan memusuhi Nabi shalallahu alahi wassallam setelah beliau menikahi Shafiyyah binti Huyai bin Akhthab, putri pemimpin Bani Nadhir.

● Untuk menyucikan dan mendidik para wanita di mana kebutuhan untuk mendidik mereka sangatlah besar. Maka Nabi shalallahu alahi wassallam memilih wanita-wanita yang umur dan latar belakang mereka berbeda-beda yang dapat memenuhi tujuan tersebut. Kemudian beliau menyucikan, mendidik, dan mengajarkan hukum-hukum syar’i kepada mereka, dan membekali mereka dengan pengetahuan Islam. Beliau mempersiapkan mereka untuk mendidik para wanita; wanita-wanita Badui, wanita-wanita berbudaya, wanita-wanita tua, maupun yang masih muda. Istri-istri Rasul mempunyai jasa besar dalam menyampaikan kepada manusia tentang keadaan-keadaan Rasul di rumah.

Diringkas dari Kitab ar-Rahiq al-Makhtum, karya Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, hal. 476-482

Islam

TAQLID yang di bolehkan

Imam Al-Barbahari rahimahullah berkata dalam Syarhus Sunnahnya :

..وعليك بالآثار وأصحاب الآثار والتقليد فإن الدين إنما هو بالتقليد يعني للنبي صلى الله عليه وسلم وأصحاب رضوان الله عليهم أجمعين..

“Wajib atasmu berpegang pada atsar dan ahlinya serta TAQLID; Karena agama ini hanyalah TAQLID yaitu kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya ridhwanullah alaihim ajma’in..”

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan :

‘Dan yang dimaksud dengan TAQLID adalah ITTIBA’ (mengikuti Nabi, para sahabat serta ahli ilmu), dan bukanlah taqlid yang dimaksud oleh orang-orang belakangan, akan tetapi yang dimaksud adalah mengikuti dan meneladani ahli ilmu dan ahli kebaikan, sebagaimana firman Allah ta’ala :

وَٱلَّذِینَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِحۡسَـٰنࣲ

“Dan orang-orang yang ittiba’ (mengikuti) mereka dengan bengan baik”. [QS. At-Taubah : 100]

وَٱتَّبَعۡتُ مِلَّةَ ءَابَاۤءِیۤ إِبۡرَ ٰ⁠هِیمَ وَإِسۡحَـٰقَ وَیَعۡقُوبَۚ

“Dan aku ittiba’ (mengikuti) ajaran bapak-bapakku, Ibrahim, Ishaq dan Ya’qub”. [QS. Yusuf : 38].

Inilah ittiba’. Dan TAQLID yang bermakna ITTIBA’ di atas kebenar adalah terpuji. Adapun TAQLID BUTA tanpa dalil, maka inilah yang tertolak.

Karena itu Taqlid itu ada dua macam :
1. Taqlid yang bermakna ittiba’ diatas kebenaran.
2. Taqlid tanpa dalil dan tanpa mengetahui apakah orang yang di’taqlid’ itu berada diatas kebenaran atau kebatilan. Inilah taqlid yang tercela.

(Perkataan Imam Al-Barbahari)

وعليك بالآثار

“Wajib atasmu berpegan pada atsar”.

maksudnya, lazimilah Sunnah dan Hadits.

*****

Ithaful Qori bita’liq ‘ala Syarhis Sunnah lil Barbahari, hal : 403

Islam

MADZHAB dalam islam

MADZHAB

PERTANYAAN: Apa pendapat anda tentang perkataan salah seorang dari mereka: “Untuk belajar fiqih harus mengikuti salah satu dari empat madzhab, dan berpegang dengan salah satu madzhab yang mu’tamad ini.” Dan bahwa Al-Albani, (Muqbil) Al-Wadi’i dan semisal keduanya: telah merusak ilmu fiqih; karena mereka mendakwahkan fiqih hadits dan atsar saja.

SYAIKH IBRAHIM BIN ‘AMIR AR-RUHAILI -hafizhahullaah- MENJAWAB:

“Pertama: jawaban atas BAGIAN PERTAMA dari pertanyaan ; yaitu bahwa “harus mengikuti madzhab fiqih dalam belajar fiqih”.

Maka perkataan bahwa kita (harus) mengikuti madzhab fiqih; maka ini tidak benar.

Tapi (yang benar) adalah: harus mengikuti ulama dalam belajar ilmu, karena Allah -Ta’aalaa- berfirman:

{…فَاسْأَلُوْا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ}

“…maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,” (QS. An-Nahl: 43)

Maka jangan sampai seorang pada zaman sekarang: dia menghafal Al-Qur-an dan besoknya langsung beristinbath (mengambil hukum) permasalahan-permasalahan dalam kitab fiqih, mentafsirkan Al-Qur-an dan membaca hadits; kemudian menulis kitab tentang syarah hadits tanpa kembali kepada ulama.

Akan tetapi ulama tidak dibatasi pada imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad). Maka jika seorang penuntut ilmu belajar kepada ulama; sama saja apakah ulama muhadits yang tidak bermadzhab dengan salah satu madzhab imam yang empat atau yang menisbatkan diri kepada salah satu imam yang empat dari Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Yang penting harus kembali kepada ulama. Allah berfirman:

{…فَاسْأَلُوْا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ}

“…maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,” (QS. An-Nahl: 43)

Allah tidak berfirman: maka bertanyalah kepada imam yang empat.

Maka imam yang empat tersebut tidak berkaitan dengan hukum. Barangsiapa yang mengatakan bahwa tidak boleh keluar dari madzhab yang empat; maka inilah yang salah.

Sampai Ibnu Rajab -dengan kemuliaannya- menulis risalah -dan tidak ada seorang ulama pun melainkan memiliki ketergelinciran- beliau berkata: “Tidak boleh keluar dari madzhab yang empat, dan ijma’ mereka itulah ijma’.” Maka para ulama mengingkari beliau, padahal beliau memiliki keutamaan besar.

Maka perkataan bahwa harus belajar fiqih kepada ulama; (itulah yang benar). Tidak boleh penuntut ilmu mencukupkan diri hanya dengan melihat kepada dalil, karena dia tidak memiliki kemampuan untuk memahami dalil. Dia harus kembali kepada para ulama ahli tafsir dan para ulama pensyarah hadits; baik para ulama tersebut dari imam yang empat maupun selainnya.

Adapun BAGIAN KEDUA dari pertanyaan; yaitu pernyataan bahwa “Syaikh Al-Albani dan Syaikh Muqbil Al-Wadi’i merusak ilmu, dengan alasan karena tidak bermadzhab.” Maka ini adalah kebodohan terhadap madzhab para syaikh tersebut dan juga kebodohan terhadap Sunnah.

Para syaikh tersebut tidaklah mendakwahkan manusia untuk kembali kepada dalil tanpa mengambil fiqih para ulama. Seorang tidak bermadzhab dengan salah satu madzhab yang empat; bukan berarti dia tidak mengambil perkataan para ulama sama sekali.

Apakah Al-Albani tidak kembali kepada para ulama? Dan apakah Muqbil Al-Wadi’i tidak kembali kepada ulama? Mereka kembali kepada perkataan ulama.

Akan tetapi sebagian orang memberikan pernyataan: “Jika seseorang tidak bermadzhab dengan salah satu madzhab yang empat; maka berarti dia tidak kembali kepada seorang ulama pun!” Maka ini tidak benar. Ini masalah lain; yaitu bahwa ahli ilmu jika mengatakan bahwa dia tidak bermadzhab dengan madzhab tertentu; maka maknanya dia tetap kembali kepada para ulama dan mengambil faedah dari ilmu mereka. Inilah yang dilakukan oleh para syaikh tersebut. Syaikh Al-Albani membawakan perkataan para ulama di kitab-kitab beliau; baik dalam masalah “rijaal” (para perawi) maupun fiqih Sunnah. Beliau tidak mempergunakan ra’yu (pendapat pribadi)nya tanpa kembali kepada perkataan para ulama. Syaikh Muqbil juga demikian. Semua ulama (para masya-yikh) tersebut mengambil perkataan ulama, mengambil perkataan Ibnu Taimiyyah, dan Ibnu Taimiyyah juga mengambil perkataan ulama sebelumnya. Maka seorang ‘alim yang kembali kepada para ulama dan mengatakan: “saya tidak bermadzhab dengan madzhab tertentu”; ini bukan berarti dia tidak mengambil perkataan para ulama.

Maka mereka (yang mengatakan bahwa para syaikh tersebut merusak fiqih): telah bodoh terhadap kedudukan para ulama (masya-yikh) dan telah bodoh terhadap jalan para ulama tersbut serta telah su-u zhann (berprasangka buruk) terhadap mereka. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam: “Mereka yang mencela para Salaf; maka telah menggabungkan antara kebodohan terhadap para Salaf dan su-u zhann terhadap mereka.” Demikian juga orang-orang ini: telah menggabungkan antara su-u zhann terhadap para ulama tersebut dan bodoh terhadap jalan mereka. Syaikh Al-Albani tidaklah berkembang melainkan di atas kitab-kitab para ulama; dalam Jarh Wa Ta’dil, dalam pen-shahih-an dan pen-dha’if-an dan dalam fiqih Sunnah, Syaikh Muqbil juga demikian, dan Syaikh Bin Baz dan Syaikh ‘Utsaimin; mereka semua tidak bermadzhab dengan madzhab tertentu. Akan tetapi bukan berarti mereka tidak kembali kepada perkataan para ulama.

DAN UMUM NYA PENUNTUT ILMU PADA ZAMAN SEKARANG ADALAH TIDAK BERMADZHAB DENGAN MADZHAB TERTENTU. Mereka menulis kitab-kitab tapi tidak mengambil dari kepala (pendapat) mereka sendiri, justru mereka kembali kepada perkataan para ulama. Oleh karena itulah mereka menukil dari Abu Hanifaf, dari Malik, dari Asy-Syafi’i, dari Ahmad, dari Ibnu Taimiyyah, dari Al-Albani, dari Bin Baz. Inilah jalan yang benar, dengan tanpa bermadzhab dengan madzhab tertentu.

Akan tetapi jika tidak didapatkan di suatu negeri kecuali madzhab fiqih tertentu; maka tidak mengapa mengambil dari ulama yang ada di negeri tersebut -sebagaimana disebutkan oleh Syaikhul Islam-. Jika tersebar sebuah madzhab atau kitab; maka tidak mengapa. Karena madzhab-madzhab ini adalah madzhab Ahlus Sunnah, dan tidak katakan itu madzhab-madzhab bid’ah. Akan tetapi yang tercela adalah fanatik terhadap madzhab tertentu dengan mengatakan: “Kebenaran ada pada madzhab ini dan tidak akan didapatkan di luar madzhab.” Inilah yang tercela. Adapun ulama yang bermadzhab Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, Malik, atau Ahmad; maka mereka termasuk ulama Ahlus Sunnah. Tapi tidak boleh ta’ashshub (fanatik) terhadap mereka.”

[diambil dari tanya jawab pertemuan kelima, diterjemahkan oleh: Ahmad Hendrix]

Islam

BENIH TAKFIR DALAM TUBUH UMMAT

Oleh
Syaikh Abu Usamaha Salim bin Ied Al-Hilali

Semoga Allah menjadikan pertemuan ini, pertemuan yang diberkahi, mendorong penyebaran ilmu yang murni, penyebaran Kitabullah dan Sunnah Rasulullah dan manhaj Salafush Shalih, generasi yang datang setelah Nabi, dan membawa agama ini dengan amanah, antusias dan ketegaran.

Topik pembicaraan kami, (ialah) seputar fitnah ghuluw dalam takfir, bahayanya terhadap umat dan pengaruh destruktifnya di masyarakat lokal maupun internasional.

Definisi takfir, yaitu memvonnis atau mensifati seseorang dengan kekafiran, atau mensifatinya dengan hukum kafir ; baik dengan alasan yang benar ataupun tidak. Karena itu, saya tegaskan bahwa takfir merupakan hukum syar’i. Ia merupakan wewenang Allah dan RasulNya. Tidak boleh kita meniadakan atau menolaknya. Sebab, takfir merupakan hukum syar’i ; ada orang yang bisa dikafirkan (dan) ada juga yang terjerumus dalam perbuatan takfir.

Tetapi masalahnya bukan pada persoalan di atas, namun terletak pada sikap ekstrim dalam takfir (mengkafirkan) dan mengeluarkan takfir itu dari kaidah yang telah ditetapkan Allah dan Rasulullah.

Karena itu, ada orang yang boleh dikafirkan, ada juga yang tidak boleh untuk dikafirkan. Dalam permasalahan ini, Ahlus Sunnah bersikap tengah-tengah antara dua golongan. Golongan yang mengabaikan hak Allah dalam masalah takfir ini, dengan golongan ekstrim menempatkan takfir bukan pada porsinya.

Ulama mengklasifikasikan kekufuran menjadi dua katagori :

1. Kufur akbar yang mengeluarkan (manusia) dari Islam.
Kedua : kufur ashgar, tidak mengeluarkan dari Islam, meskipun diistilahkan kufur.

Dalam masalah pembagian kufur ini, ada keterangan paling mewakili, yaitu yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnul Qayim dalam kitabnya yang agung Ash-Shalah. Beliau menuturkan, kufur terbagi (menjadi) dua jenis, (yaitu) kufur yang mengeluarkan dari agama. Beliau menerangkan kufur ini berlawanan dengan iman dalam semua aspek. Maksudnya, ketika ada seseorang yang melakukannya, maka imannya akan hilang. Misalnya mencaci Allah, memaki NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menyakiti Nabi, bersujud kepada kuburan dan patung, melemparkan mushaf ke tempat kotor, atau contoh-contoh serupa lainnya yang telah dipaparkan para ulama. Orang yang terjerumus dalam perbuatan-perbuatan ini dihukumi sebagai kafir. Hujjah harus ditegakkan kepadanya (artinya, ia harus diingatkan dengan hujjah,-red), sampai syarat-syarat takfir terpenuhi dan segala penghalang kekafiran hilang. Jika hujjah sudah ditegakkan kepadanya oleh orang yang mempunyai kewenangan untuk itu atau oleh wakilnya, sedangkan ia tetap menolak, maka baru divonis sebagai kafir.

2. Jenis yang kedua, kufur yang tidak mengeluarkan dari agama. Namun syari’at Islam menyebutkannya sebagai tindakan kekufuran, seperti perbuatan-perbuatan maksiat. Contohnya termaktub dalam beberapa hadits.

سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ وَقِِتَالُهُ كُفْرٌ.

“Mencaci orang muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kufur” [Hadits Riwayat Bukhari No. 48, Muslim No. 64]

مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ

“Barangsiapa bersumpah dengan menyebut nama selain Allah, maka ia kafir atau musyrik” [Hadits Riwayat Tirmidzi]

لاَ تَرْجِعُوْا بَعْدِيْ كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُم رِقَابَ بَعْضٍ.ٍ

“Janganlah kalian menjadi kafir sepeninggalkau, yaitu sebagian kalian membunuh yang lain” [Hadits Riwayat Bukhari No. 121. Muslim No. 65]

Begitu juga, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang orang yang meninggalkan shalat dengan sebutan kufur. Demikianpula firman Allah.

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Barangsiapa tidak berhukum dengan hukum Allah, maka ia termasuk orang-orang yang kafir” [al-Ma’idah/5 : 44]

Ini adalah contoh-contoh kufur ashghar yang tidak mengeluarkan dari agama, dengan syarat tidak menganggapnya sebagai perbuatan yang halal. Jika meyakini perbuatan maksiat ini halal, maka ia telah keluar dari Islam, murtad dan menjadi kafir. Ini adalah istihlal qalbi (penghalalan secara hati).

Berikutnya, pembicaraan kita tentang masalah ini, yaitu tentang orang-orang yang berlebihan-lebihan dalam takfir, menjadikan perbuatan yang tidak mengeluarkan dari agama, sebagai perkara yang mengeluarkan dari Islam. Dari sinilah fitnah terjadi. Dan ini merupakan fitnah pertama yang terjadi di dalam Islam, di tangan-tangan orang Khawarij yang dinyatakan oleh Nabi sebagai anjing-anjing neraka. Sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih.

Pada waktu itu, pembesar mereka menantang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tatkala Belaiu membagi rampasan perang di Hunain dengan memberikannya kepada orang-orang yang muallaf dan tidak memberikan kepadanya sedikitpun. Pemimpin mereka itu mengatakan : “Bersikap adillah, wahai Muhammad! Sesungguhnya pembagian yang engkau lakukan ini tidak dimaksudkan untuk mencari wajah Allah”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Celaka engkau. Siapa lagi yang akan berbuat adil kalau aku tidak berbuat adil? Sesungguhnya aku orang yang paling mengenal Allah dan paling bertawqa kepadaNya” [Hadits Riwayat Bukhari]

Dari sikap yang ditujukan oleh laki-laki penentang Rasulullah tersebut, terlihat dengan jelas faktor-faktor yang mendorong mereka ke dalam sikaf takfir (mengkafirkan orang).

1. Mereka menjadikan himpitan sosial, politik atau ekonomi sebagai sarana untuk keluar dari prinsip-prinsip pemahaman Islam dan memberontak kepada penguasa kaum Muslimin.

2. Kelancangan mereka terhadap Waliyul Amr. Kelancangan itu ditunjukkan oleh pimpinan mereka terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam sebuah hadits shahih dalam Musnad (disebutkan). “Suatu hari Nabi melewati orang ini dalam keadaan sujud. Maka beliau menghampiri para sahabatnya. Beliau berkata : “Siapa yang mau membunuhnya ?” Abu Bakar mengiyakan, lalu bangkit dengan pedang terhunus. Kemudian beliau menghampiri orang itu, belaiu mendapati sedang sujud. Maka beliaupun kembali (tidak membunuhnya) seraya berkata :”Ya Rasulullah, bagaimana aku membunuh yang mengucapkan laa illaha illa Allah?”. Demikian juga yang dilakukan Umar. Kemudian Ali menyanggupinya, beliau bergegas ke sana, tapi orang tersebut sudah tidak ada lagi. Kemudian. Beliau bersabda : “Seandainya ia berhasil dibunuh, tentu tidak akan ada lagi dua orang yang berselisih di antara umatku”.

Jadi, benih-benih takfir tumbuh dari golongan Khawarij, dan ini merupakan fitnah yang pertama kali terjadi dalam Islam, dan akan terus berlangsung sampai akhirnya Dajjal bergabung dengan pasukan mereka.

Apa yang diperintahkan Nabi pun terjadi. Fitnah Khawarij merangsek. Dan hasil pertama yang menjadi akibatnya, ialah yang dialami Khalifah ketiga Utsman Asy-Syahid yang mendapat jaminan syurga. Orang-orang Khawarij dengan provokasi dari Yahudi, memberontak kepadanya dan berhasil mengepung, dan membunuh Khalifah Utsman Radhiyallahu ‘anha. Kemudian mereka memobilisasi pasukannya untuk memberontak kepada Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu. Akan tetapi Ali memerangi, membunuh dan menghabisi mereka sampai akarnya. Sedikit pun tidak tersisa, kecuali sembilan orang saja, sebagaimana dipaparkan buku-buku sejarah. Sembilan orang ini menyebar ke seluruh penjuru dunia. Menyebar pula fitnah Khawarij bersama mereka, membawa pemikiran takfir, petumpahan darah dan pembunuhan. Sungguh benar sabda Nabi, mereka adalah duri buat Islam. Mereka tidak mengusik orang-orang kafir, tetapi justru memerangi umat Islam.

Demikianlah, fitnah ini menghasilkan pertumpahan darah, menciderai kehormatan serta perusakan. Dan ini terjadi di negari-negeri Islam.

Fitnah ini akan berlangsung terus sebagaimana dikabarkan Nabi. Dalam hadits Ibnu Umar dalam sunan Ibnu Majah (disebutkan) : “Akan tumbuh generasi yang membaca Al-Qur’an. Ketika sebuah generasi habis, maka akan datang generasi berikutnya sampai datang di tengah-tengah mereka Dajjal”. Mereka adalah Khawarij. Setiap kali pupus satu generasi, akan tumbuh generasi baru. Demikian seterusnya hingga muncul Dajjal ditengah pasukan mereka yang dimobilisasi untuk melawan kaum muslimin. Mereka adalah para pengikut Dajjal. Dajjal yang menyebarkan kerusakan dimuka bumi, dari barat sampai timur, dari utara sampai selatan. Orang-orang Khawarij ini adalah tentara Dajjal di akhir zaman, mereka mendukung kekuasaan Dajjal dan mendukung kerusakan yang dilakukan Dajjal. Wal’iyyadzu billah tabaraka wa ta’ala.

Inilah yang kita lihat di lapangan. Muculnya jama’ah-jama’ah takfir dan menodongkan senjata mereka kehadapan umat Islam. Hasilnya, (ialah) pemboman, perusakan, pembunuhan dan pengusiran penduduk.

Peristiwa ini juga terjadi dihadapan anda. Lihat misalnya, apa yang terjadi beberapa tahun silam ketika muncul golongan ekstrimis di Aljazair. Mereka melakukan pembunuhan, perusakan-perusakan dan penodaan terhadap kehormatan dengan dalih Islam di bawah panji jihad, atau dalih melawan himpitan politik dan seabreg dalih besar lainnya. Sebenarnya mereka pernah bertanyan kepada para ulama. Dan ulamapun telah memberikan nasihat kepada mereka. Namun mereka menutup telinga dan tetap keras kepala.

Fitnah mereka mulai terjadi tahun 90-an hingga kini. Hasil yang diakibatkannya adalah, setengah juta orang Islam terbunuh. Setengah juta orang terbunuh hanya dalam waktu sepuluh tahun, di tangan orang yang mengaku dirinya muslim, mengaku berbuat untuk Islam dan mengaku bahwa mereka berjihad di jalan Allah.

Sementara, negeri Islam Aljazair, ketika melancarkan perang kemerdekaannya melawan penjajah Perancis selama seratus tiga puluh tahun, hanya mengorbankan satu juta syahid. Apabila korban di tangan orang Islam saja mencapai setengah juta jiwa dalam waktu sepuluh tahun, bagaimana jika fitnah ini berlangsung selama seratus tiga puluh tahun ? Berapa korban yang akan jatuh ? Maka akan menghabisi masyarakat muslim di sana!

Sebelumnya di Suriah, juga ada kelompok ekstrim yang memberontak dengan semboyan-semboyan membahana dan slogan-slogan besar. Maka terjadilah apa yang terjadi, pembunuhan, pengusiran penduduk, dan pengeboman. Bahkan ada sebuah kota, yaitu kota Hamah, total hancur-lebur disebabkan oleh ulah mereka, dengan menelan korban tewas empat puluh ribu jiwa dan penduduknya.

Itulah ulah mereka, penyembelihan, perusakan, peledakan, dan teror terhadap masyarakat yang terusik rasa amannya. Di sana sini ada ranjau darat, bom mobil, granat dan pembunuhan-pembunhan misterius. Akan tetapi kemanapun mereka pergi, sesungguhnya Allah senantiasa mengawasi!

Tidak ada satu jengkal negeri kaum musliminpun yang selamat dari fitnah ini. Dan negeri ini, negeri Islam yang penduduknya paling banyak di antara negeri-negeri Islam lainnya, juga tidak selamat dari ulah mereka, dari perusakan mereka, dari pemboman mereka dan dari terror mereka.

Hal ini, atau beberapa hari sebelumnya, juga terjadi di negara Haramain. Semoga Allah menjaganya dan menjaga seluruh negara Islam dari ulah tangan para perusak itu. Dan semoga Allah membasmi mereka. Setiap negeri kaum muslimin, senantiasa terancam dengan keberadaan mereka.

Karena itu, kita wajib berhati-hati terhadap bahaya pemikiran ini. Pemikiran yang secara lahir kelihatan indah, tetapi disebaliknya menyimpan kebusukan. Ada banyak sebab mengapa hal itu terjadi. Namun akan saya sebutkan secara garis besar pada tiga sebab.

1. Semangat keagamaan yang ada pada para pemuda, namun disertai kebodohan terhadap syari’at dan terhadap maksud-maksud agama.

2. Semangat buta ini dimanfaatkan oleh para hizbiyyin dan harakiyyin, terutama yang terpengaruh pemikiran Sayyid Qutb dan Muhammad Qutb. Sesungguhnya kelompok-kelompok ghuluw dan jama’ah-jama’ah takfir lahir karena terinspirasi oleh buku-buku mereka berdua, sebagaimana pengakuan tokoh besar mereka. Kelompok-kelompok itu memanfaatkan semangat para pemuda yang bodoh ini dengan mengarahkan mereka untuk mengkafirkan para penguasanya, mengkafirkan negerinya dan mengkafirkan umatnya sehingga mereka menjadi perusak dan menjadi bencana bagi negeri mereka.

3. Ditambah lagi, ada tangan-tangan tersembunyi serta pihak-pihak yang mempunyai kaitan dengan orang-orang kafir, mengail di air keruh, ikut memanfaatkan kebodohan ini, kemudian mengarahkannya untuk mengadakan kerusakan, penghancuran dan menimbulkan kekacauan di negerinya kaum muslimin. Semua itu diatasnamakan Islam, padahal Islam berlepas diri dari itu semua. As-Salafiyah juga berlepas diri dari itu semua.

Islam adalah agama yang menjunjung keamanan, kesentausaan, dan ketentraman, Islam mempersatukan kata dan hubungan. Sedangkan Salafiyah adalah dakwah menuju Kitab Allah, Sunnah Rasulullah dan manhaj Salaf. Maka dakwah Salafiyah sangat memperhatikan keamanan kaum muslimin dan sangat memperhatikan keamanan negeri kaum muslimin, seperti halnya dakwah Salafiyah juga sangat memperhatikan keamanan kaum muslimin serta bersemangat untuk mempersatukan bahasa serta negeri kaum muslimin. Karena itu, kita wajib merujuk kepada ulama besar kita.

Dalam masalah-masalah krusial, kita harus bertanya kepada ulama-ulama besar, tidak boleh bertanya kepada ulama kecil. Masalah-masalah besar hanya bisa dijawab oleh ulama-ulama besar. Dahulu ulama besar yang telah wafat seperti Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Syaikh Ibnu Baz dan Syaikh Utsaimin pernah mengeluarkan fatwa untuk para pemuda, bahwa kegiatan-kegiatan (merusak) itu adalah tidak syar’i, tidak boleh dikerjakan oleh para pemuda harus mempejari agamanya serta berpegang teguh pada Sunnah Rasulullah. Para pemuda harus duduk disekeliling ulama supaya bahasa dan barisannya bisa bersatu. Semantara para musuh, baik dari dalam maupun dari luar tidak mampu mengusik barisan kita.

Saya berdoa agar Allah mempersatukan kita, menolong kita untuk menghadapi musuh, dan agar Allah menjadikan izzah terlimpah bagi Islam, kaum muslimin dan siapa saja yang membela Islam. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa untuk melakukan itu semua.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun VIII/1425H/2005M Rubrik Liputan Khusus yang diangkat dari ceramah Syaikh Abu Usamah Salim bin Ied Al-Hilali Tanggal 5 Desember 2004 di Masjid Istiqlal Jakarta]

Anda belum mahir membaca Qur’an?
Ingin segera bisa? Klik di sini sekarang!

16 April 2007 in category Al-Masaa’il : Terorisme

Read more https://almanhaj.or.id/2088-benih-takfir-dalam-tubuh-ummat.…

Islam

Penerapan Hukum Yang Bersifat Meluas dan Berdampak Besar adalah dengan dikembalikan kepada Ulama’.

Ini adalah salah satu prinsip ahlussunnah wal jama’ah yang menjadi benteng besar yang menjaga ummat. Akan tetapi sangat disayangkan bahwa kebanyakan manusia di hari ini menelantarkan prinsip ini, oleh karenanya kita mendapati sikap melampaui batas dalam masalah takfir.

Maka, penerapan hukum yang bersifat meluas dan berdampak besar haruslah dikembalikan kepada para ulama’ rabbaniyyin, ahlul bashiroh yang kuat dalam beristinbath dan kuat dalam mengikuti sunnah. PENERAPANNYA TIDAK DIKEMBALIKAN KEPADA PARA PENUNTUT ILMU, TIDAK JUGA PARA DA’I, APALAGI DA’I DI DUNIA MAYA.

Sebagaimana yang telah berlalu bahwa Allah mencela orang-orang munafiq disebabkan mereka terburu-buru dalam hukum-hukum yang bersifat meluas. Allah berfirman

وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِّنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ ۖ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَىٰ أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ ۗ

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyebarkannya. Dan kalau sekiranya mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang (mampu) beristinbath dari mereka akan mengetahuinya…” (Q.S. an-Nisa’: 83)

Inilah sifat Ahlu Iman, mereka mengembalikan perkara-perkara besar kepada Rasul -shallallahu alaihi wasallam- ketika beliau masih hidup, dan setelah wafatnya beliau maka perkara-perkara besar dikembalikan kepada Para Ulama yang menguasai Sunnah.

Kemudian… Tidak semua ulama boleh berbicara masalah yang besar, yang berhak membicarakannya adalah Ahlu Bashiroh yang Kibar, karena Allah tidak berfirman: “tentulah orang yang mengilmuinya…” Namun Allah berfirman: “Tentulah orang-orang yang (mampu dan kuat) beristinbath akan mengetahuinya” artinya yang mengetahuinya hanyalah ulama ahli istinbath yang kuat ilmu dan bashirohnya.
(Diterjemahkan dari kitab USHULU AHLISSUNNAH HIDAYAH WA AMAAN, hal: 98)

Maka wajib bagi setiap muslim untuk mengikuti arahan ulama dalam masalah ini, namun sangat disayangkan kebanyakan kaum muslimin disaat ini mentazkiyah dirinya sendiri dan mereka berburuk sangka kepada ulama, sehingga mereka tidak kembali kepada ulama dan tidak mengambil arahan mereka, mereka berburuk sangka dengan ulama rabbaniyyin dan mentazkiyah dirinya sendiri.
(Diterjemahkan dari kitab USHUL AHLISSUNNAH HIDAYAH WA AMAAN, hal: 99)

Suatu waktu saya pernah menasehati seorang pemuda, aku berkata kepadanya:
“Ya Akhi, kenapa engkau masuk menyelami permasalah (besar) ini?”

Dia pun menjawab:
“Aku tahu bahwa Syaikh Ibnu Baz berbicara tentang masalah ini begini, dan Syaikh Ibnu Utsaimin berkata begini, dan Syaikh Shalih al-Fauzan berbicara begini, akan tetapi dalam masalah ini ada perbedaan pendapat dikalangan ulama’ dan saya memilih pendapat yang rajih.”

Maka aku pun (Syaikh Sulaiman) berkata kepadanya:
“Bagaimana kamu mengatakan bahwa masalah ini diperselisihkan ulama? Sedangkan aku -demi Allah- tidak menjumpai ada silang pendapat ulama dalam masalah ini”

Dia pun berkata:
“Aku menanyakan masalah ini kepada seorang imam masjid, dan ia berkata kepadaku dengan pendapatnya yang berbeda dengan ucapan mereka (Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin, al-Fauzan), dan aku mengambil pendapat yang rajih (pendapat imam masjid).”

Aku pun berkata kepadanya:
“Subhanallah, masalah ini bukan dikembalikan kepada para imam masjid, tidak pula kepada para khatib, tidak pula kepada para da’i, DAN TIDAK PULA DIKEMBALIKAN KEPADA SAYA DAN ANDA, namun masalah ini harus dikembalikan kepada Ulama Kibar, tidak boleh kita mendatangkan pendapat orang yang bukan ahlinya, dan menjadikannya pembanding pernyataan ulama ulul albab”.

Maka, kita wajib menjelaskan kepada anak-anak kita akan kedudukan ulama, dan menjelaskan kepada mereka siapa ulama sesungguhnya, dan juga kita jelaskan kepada mereka akan wajibnya meruju’ kepada ulama, karena meruju’ kepada ulama adalah wujud meruju’ pada Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah -shallallahu alihi wasallam-”
(Diterjemahkan dari kitab USHULU AHLISSUNNAH HIDAYAH WA AMAAN, hal: 100-101)

#Catatan_kami:

Inilah prinsip yang sangat disayangkan telah dilupakan oleh sebagian kita, dengan modal sudah belajar kitab² tentang dzawabith takfir langsung menilai si A dan si B telah kafir karena begini dan begini, atau karena telah menyelami kitab² ushul fiqh kemudian menimbang² masalah besar dan dishare untuk umum, atau dengan alasan sudah ngaji dianggap sudah bisa menimbang sehingga diarahkan ikut nyoblos. Memangnya kajian apa yang sudah didalami teman² kita? Seandainya mereka belajar runut ilmu² alat secara ta’shil dan tafshil saja belum boleh menyatakan sikap dalam masalah² besar apalagi kajiannya hanya tematik dengan pembahasan yang jauh dari ta’shilat ilmiah yang kuat dan terperinci.

الله المستعان

https://www.facebook.com/hashtag/penerapan?source=feed_text&epa=HASHTAG

Islam

PRINSIP AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH TERHADAP MASALAH KUFUR DAN TAKFIR (PENGKAFIRAN)

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حَفِظَهُ الله تَعَالَى

Prinsip dan pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah tentang masalah kufur dan takfir (pengkafiran) adalah sebagai berikut:

A. Definisi Kufur
Kufur secara bahasa (etimologi) berarti menutupi. Sedangkan menurut syara’ (terminologi), kufur adalah tidak beriman kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik dengan mendustakannya atau tidak mendustakannya[1]. Orang yang melakukan kekufuran, tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya disebut kafir.

B. Prinsip-Prinsip Ahlus Sunnah Dalam Kufur dan Takfir

Pengkafiran adalah hukum syar’i dan tempat kembalinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Barangsiapa yang tetap keislamannya secara meyakinkan, maka keislaman itu tidak bisa lenyap darinya kecuali dengan sebab yang meyakinkan pula.[2]

Tidak setiap ucapan dan perbuatan yang disifatkan nash sebagai kekufuran merupakan kekafiran yang besar (kufur akbar) yang mengeluarkan seseorang dari agama, karena sesungguhnya kekafiran itu ada dua macam; kekafiran kecil (asghar) dan kekafiran besar (akbar). Maka, hukum atas ucapan-ucapan maupun perbuatan-perbuatan ini sesungguhnya berlaku menurut ketentuan metode para ulama Ahlus Sunnah dan hukum-hukum yang mereka keluarkan.

Tidak boleh menjatuhkan hukum kafir kepada seorang Muslim, kecuali telah ada petunjuk yang jelas, terang dan mantap dari Al-Qur-an dan As-Sunnah atas kekufurannya. Maka, dalam permasalahan ini tidak cukup hanya dengan syubhat dan zhan (persangkaan) saja.

Ahlus Sunnah tidak menghukumi pelaku dosa besar tersebut dengan kekafiran. Namun menghukuminya sebagai bentuk kefasikan dan kurangnya iman apabila bukan dosa syirik dan dia tidak menganggap halal perbuatan dosanya. Hal ini karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” [An-Nisaa/4: 48]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan dengan keras tentang tidak bolehnya seseorang menuduh orang lain dengan ‘kafir’ atau ‘musuh Allah.’

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ ِلأَخِيْهِ: يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا، إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ، وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ.

“Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya: ‘Wahai kafir’ maka ucapan itu akan kembali kepada salah satu dari keduanya. Apabila (saudaranya itu) seperti yang ia katakan (maka ia telah kafir), namun apabila tidak maka akan kembali kepada yang menuduh.”[3]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

…وَمَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ، أَوْ قَالَ: عَدُوَّ اللهِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ.

“… Dan barangsiapa yang menuduh kafir kepada seseorang atau mengatakan: ‘Wahai musuh Allah,’ sedangkan orang tersebut tidaklah demikian, maka tuduhan tersebut berbalik kepada dirinya sendiri.”[4]

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلاً بِالْفُسُوْقِ، وَلاَ يَرْمِيْهِ بِالْكُفْرِ، إِلاَّ اِرْتَدَّتْ عَلَيْهِ إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذَلِكَ.

“Tidaklah seseorang menuduh orang lain dengan kefasikan ataupun kekufuran, melainkan tuduhannya itu akan kembali kepada dirinya jika orang yang dituduh tidak seperti yang ia tuduhkan.”[5]

Terkadang ada keterangan dalam Al-Qur-an dan As-Sunnah yang mendefinisikan bahwa suatu ucapan, perbuatan atau keyakinan merupakan kekufuran (bisa disebut kufur). Namun, tidak boleh seseorang dihukumi kafir kecuali telah ditegakkan hujjah atasnya dengan kepastian syarat-syaratnya, yakni mengetahui, dilakukan dengan sengaja dan bebas dari paksaan, serta tidak ada penghalang-penghalang (yang berupa kebalikan dari syarat-syarat tersebut).[6]

Dan yang berhak menentukan seseorang telah kafir atau tidak adalah para ulama yang dalam ilmunya dan para ulama Rabbani[7] dengan ketentuan-ketentuan syari’at yang sudah disepakati.

Ahlus Sunnah tidak mengkafirkan orang yang dipaksa (dalam keadaan diancam) selama hatinya tetap dalam keadaan beriman.

مَن كَفَرَ بِاللَّهِ مِن بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya adzab yang besar.” [An-Nahl/16: 106]

Kufrun Akbar (kekafiran besar) ada beberapa macam:
a. Juhud (mengingkari) جُحُوْدٌ
b. Takdzib (mendustakan) تَكْذِيْبٌ
c. Iba’ (sikap enggan) إِباَءٌ
d. Syakk (keraguan) شَكٌّ
e. Nifaq (kemunafikan) نِفَاقٌ
f. I’radh (sikap berpaling) اِعْرَاضٌ
g. Istihza’ (memperolok-olok) اِسْتِهْزَاءٌ
h. Istihlal (penghalalan) اِسْتِحْلاَلٌ

Sebab-sebab yang dapat membawa kepada kekafiran besar ada 3 (tiga) macam: perkataan, perbuatan dan i’tiqad (keyakinan).
Di antara kufur ‘amali (perbuatan) dan qauli (ucapan) ada yang bisa mengeluarkan pelakunya dari agama dengan sendirinya dan tidak mensyaratkan penghalalan hati. Yaitu sesuatu perbuatan/perkataan yang jelas bertentangan dengan iman dari segala seginya, misalnya menghujat Allah Subhanahu wa Ta’ala, mencaci- maki Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersujud kepada berhala, membuang mushaf Al-Qur-an di tempat sampah, dan perbuatan-perbuatan lain yang semakna dengan itu. Dijatuhkannya hukum kufur ini kepada orang-orang tertentu hanya boleh dilakukan setelah memenuhi syarat-syarat (kufur) yang bisa diterima, sebagaimana perbuatan-perbuatan lain yang menyebabkan kafir pelakunya.

Sesungguhnya amalan kekafiran adalah kufur dan bisa menyebabkan pelakunya kafir, sebab keadaannya menunjukkan kepada batinnya yang juga kufur. Ahlus Sunnah tidak mengatakan seperti ucapan para ahli bid’ah: “Amalan kekafiran tidak kufur, tapi dia menunjukkan kepada kekufuran!” Perbedaan keduanya jelas.

Sebagaimana ketaatan merupakan sebagian dari cabang-cabang iman, demikian juga maksiat merupakan sebagian dari cabang kekafiran. Masing-masing sesuai dengan kadarnya.

Ahlus Sunnah tidak mengkafirkan seorang pun dari ahlul Qiblat (kaum Muslimin) karena dosa-dosa besarnya. Ahlus Sunnah menyebut mereka dengan Mukmin fasiq atau naaqishul iimaan, dan mereka khawatir apabila nash-nash ancaman terjadi kepada pelaku dosa-dosa besar, walaupun mereka tidak kekal di dalam Neraka. Bahkan mereka akan bisa keluar dengan syafa’at para pemberi syafa’at dan karena rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala disebabkan masih adanya tauhid pada diri mereka. Pengkafiran karena dosa besar adalah madzhab Khawarij yang keji.[8]

Perbedaan antara kufur besar dengan kufur kecil adalah:

Kufur besar mengeluarkan pelakunya dari agama Islam dan menghapuskan (pahala) amalnya, sedangkan kufur kecil tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam, juga tidak menghapuskan (pahala) amalnya, tetapi bisa mengurangi (pahala)nya sesuai dengan kadar kekufurannya, dan pelakunya tetap dihadapkan dengan ancaman.

Kufur besar menjadikan pelakunya kekal di dalam Neraka, sedangkan kufur kecil, jika pelakunya masuk Neraka, maka ia tidak kekal di dalamnya, dan bisa saja Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi ampunan kepada pelakunya sehingga ia tidak masuk Neraka sama sekali.

Kufur besar menjadikan halal darah dan harta pelakunya, sedangkan kufur kecil tidak demikian.

Kufur besar mengharuskan adanya permusuhan yang sesungguhnya, antara pelakunya dengan orang-orang Mukmin. Dan orang-orang Mukmin tidak boleh mencintai dan setia kepadanya, betapa pun ia adalah keluarga terdekat. Adapun kufur kecil, maka ia tidak melarang secara mutlak adanya kesetiaan, tetapi pelakunya dicintai dan diberi kesetiaan sesuai dengan kadar keimanannya, dan dibenci serta dimusuhi sesuai dengan kadar kemaksiatannya[9]. Wallaahu a’lam.

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1] Majmuu’ Fataawaa (XII/335) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan ‘Aqii-datut Tauhiid (hal. 81) oleh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan

[2] Majmuu’ Fataawaa (XII/466) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

[3] HR. Muslim (no. 60), Abu ‘Awanah (I/23), Ibnu Hibban (no. 250, at-Ta’liiqaatul Hisan ‘alaa Shahiih Ibni Hibban) dan Ahmad (II/44) dari Sahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma

[4] HR. Muslim (no. 61), dari Sahabat Abu Dzarr Radhiyallahu anhu

[5] HR. Al-Bukhari (no. 6045) dan Ahmad (V/181), dari Sahabat Abu Dzarr Radhiyallahu anhu

[6] Syarat-syarat seseorang bisa dihukumi kafir:
1. Mengetahui (dengan jelas),
2. Dilakukan dengan sengaja, dan
3. Tidak ada paksaan.
Sedangkan Intifaa-ul Mawaani’ (tidak ada penghalang yang menjadikan seseorang dihukumi kafir ) yaitu kebalikan dari syarat tersebut di atas:
1. Tidak mengetahui,
2. Tidak disengaja, dan
3. Karena dipaksa.
Lihat Mujmal Masaa-ilil Iimaan wal Kufr al-‘Ilmiyyah fii Ushuulil ‘Aqiidah as-Salafiyyah (hal. 28-35, cet. II, th. 1424 H) dan Majmuu’ Fataawaa (XII/498).

[7] Rabbani adalah orang yang bijaksana, alim, dan penyantun serta banyak ibadah dan ketaqwaannya. Lihat Tafsir Ibnu Katsir (I/405).

[8] Lihat bahasan kufur dan takfir: Majmuu’ Fataawaa (XII/498) dan Mujmal Masaa-ilil Iimaan wal Kufr al-‘Ilmiyyah fii Ushuulil ‘Aqiidah as-Salafiyyah (hal. 28-35, cet. II-1424 H) oleh Musa Alu Nashr, ‘Ali Hasan al-Halaby al-Atsary, Salim bin ‘Ied al-Hilaly, Masyhur Hasan Alu Salman, Husain bin ‘Audah al-‘Awayisyah, Baasim bin Faishal al-Jawaabirah, حفظهم الله, al-Wajiiz fii ‘Aqiidatis Salafish Shaalih (hal. 121-126, cet. II, Daarur Raayah-1422 H) oleh ‘Abdullah bin ‘Abdil Hamid al-Atsary, dimuraja’ah dan ditaqdim oleh beberapa ulama, dan Fitnatut Takfiir oleh Muhadditsul ‘Ashr Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany, taqdim oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz dan ta’liq oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin رحمهم الله, dikumpulkan oleh ‘Ali bin Husain Abu Lauz, cet. II, 1418 H, Daar Ibnu Khuzaimah, Tabshiir bi Qawaa’idit Takfiir, Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid, cet. I, th. 1423 H, Mauqif Ahlis Sunnah min Ahli Ahwaa wal Bida’

[9] ‘Aqiidatut Tauhiid (hal. 84) oleh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan.

Islam

PERNYATAAN SYAIKH MUHAMMAD BIN SHALIH AL UTSAIMIN RAHIMAHULLAH TENTANG TAKFIR

Pembaca,
Takfir, satu perkara yang sangat mendasar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan kita untuk tidak mudah menuduh kafir kepada saudaranya. Sebab, bila tuduhan kafir tersebut tidak benar, maka akan berbalik kepada yang menuduh. Berikut, kami sampaikan pendapat Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin tentang takfir.

Semoga dapat menambah pengetahuan dan pemahaman kita terhadap urgensi takfir. Disadur dari dua kitab Beliau rahimahullah, yaitu : Kitab Al Al Qaul Al Mufid ‘Ala Kitab At Tauhid dan Syarh Kasyfu Asy Syubuhat (Wa Yalihi Syarh Al Ushul As Sittah).
_______________________________________________________

ORANG-ORANG YANG BERHUKUM TIDAK DENGAN APA YANG DITURUNKAN ALLAH [1]
Tentang orang-orang yang berhukum tidak dengan hukum yang diturunkan Allah, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah mengatakan, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan tiga penyebutan, yaitu :

1. Kafir, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman dalam surat Al Ma’idah : 44, (Artinya: “Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir”.)

2. Dhalim, Allah berfirman dalam surat Al Ma’idah : 45, (Artinya: “Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang dhalim”).

3. Fasik, Allah berfirman dalam surat Al Maidah : 47 (Artinya : “Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”).

Berkaitan dengan tiga ayat di atas, para ulama berbeda pendapat.

Pertama : Ada yang mengatakan, tiga penyebutan (sifat) pada tiga ayat tersebut ditujukan kepada satu pribadi. Sebab, orang kafir adalah juga orang yang dhalim, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَالْكَافِرُونَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang dhalim”.[Al Baqarah:254].

Orang kafir adalah juga orang fasik, berdasarkan firmanNya:

وَأَمَّا الَّذِينَ فَسَقُوا فَمَأْوَاهُمُ النَّارُ

“Adapun orang-orang yang fasik, maka tempat kembali mereka adalah neraka” [As Sajdah:20].

Arti ‘fasaquu’ (orang-orang yang fasik dalam ayat ini) ialah orang-orang yang kafir.

Kedua : Adapula yang mengatakan, tiga penyebutan (sifat) tersebut diperuntukkan bagi tiga pribadi. Masing-masing sesuai dengan keadaan hukumnya, yaitu:

A. Seseorang akan menjadi kafir, jika mengalami salah satu diantara tiga keadaan berikut:

1. Jika meyakini bolehnya berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah, dengan dalil:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ

“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki” [Al Ma’idah:50].

Setiap hukum yang menyelisihi hukum Allah, berarti merupakan hukum jahiliyah. Berdasarkan dalil ijma’ yang qath’i, tidak diperbolehkan berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah. Dengan demikian, orang yang menghalalkan dan memperbolehkan berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah, berarti menyelisihi ijma’ kaum muslimin yang qath’i. Berarti ia kafir dan murtad. Keadaannya, seperti orang yang meyakini halalnya zina dan meminum khamr, atau meyakini haramnya roti atau susu.

2. Jika meyakini, bahwa hukum selain Allah sama baiknya dengan hukum Allah.
3. Jika meyakini, bahwa hukum selain Allah lebih baik dari hukum Allah.

Berdasarkan dalil firman Allah Subhanahu wa Ta’ala

وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ

“Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” [Al Ma’idah:50].

Ayat ini mengandung ketetapan, sesungguhnya hukum Allah merupakan hukum terbaik, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ

“Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?” [At Tiin:8].

Apabila Allah merupakan hakim yang terbaik hukumnya (sebab Allah adalah Ahkamul Hakimin), maka barangsiapa yang mengklaim, bahwa hukum selain Allah sama baiknya dengan hukum Allah, atau bahkan lebih baik lagi, berarti ia telah kafir, sebab ia tidak percaya kepada Al Qur’an.

B. Atau, seseorang hanya akan menjadi dhalim (tidak kafir) jika:
Meyakini, bahwa hukum yang diturunkan Allah adalah sebaik-baik hukum. Merupakan hukum yang paling bermanfaat bagi hamba dan negara, serta mestinya wajib diterapkan. Namun, karena kebencian dan kedengkian terhadap orang yang diadili, ia (orang yang menghakimi) menghukumi berdasarkan selain apa yang diturunkan Allah, maka ia dhalim.

C. Atau, seseorang hanya akan menjadi fasik (tidak kafir), jika:
Dia menerapkan hukum menurut hawa nafsunya. Misalnya, menghukum seseorang karena suap yang diterimanya, atau karena kerabat, sahabat. Atau karena ada sesuatu harapan di balik itu. Padahal ia meyakini, bahwa hukum Allah adalah yang terbaik dan wajib diikuti, maka ia fasik. Meskipun bisa juga dikatakan dhalim, namum sifat fasik lebih tepat bagi dirinya.

Diantara dua pendapat di atas, maka yang kuat adalah pendapat kedua. Yaitu, tiga penyebutan yang diberikan Allah (kafir, dhalim dan fasik) tersebut diperuntukkan bagi tiga pribadi. Masing-masing sesuai dengan keadaannya (bisa kafir, atau hanya dhalim, atau fasik, peny.).

Adapun bagi orang yang membuat undang-undang hukum lain -padahal ia mengetahui ada hukum Allah dan hukum buatannya ini menyelisihi hukum Allah- maka orang ini telah mengganti syari’at Allah dengan undang-undang buatannya. Berarti ia kafir. Sebab, dengan adanya undang-undang buatannya ini, tidaklah ia membenci syari’at Allah, melainkan karena pasti -ia yakini- bahwa undang-undang tersebut lebih baik bagi manusia dan negara dibanding syari’at Allah.

Meskipun kami mengatakan bahwa ia kafir (artinya, perbuatan itu bisa menyebabkan kekafiran), Akan tetapi bisa jadi si pembuat undang-undang tersebut ma’dzur (termaafkan). Karena, misalnya ia terpedaya. Umpamanya dikatakan kepadanya,‘Ini tidak menyalahi Islam’, atau ‘Ini termasuk mashalih mursalah’, atau ‘Ini termasuk masalah yang oleh Islam dikembalikan kepada manusia’. (Lihat hal. 266-269)

Selanjutnya, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam Kitab yang sama (hal. 271-272) berkata lagi:

Hendaknya difahami, bahwa seseorang wajib merasa takut kepada Allah (Rabb-nya) dalam menetapkan semua masalah hukum. Sehingga hendaknya, ia tidak terburu-buru menetapkan kepastian hukum, khususnya berkaitan dengan takfir (menjatuhkan hukum kafir terhadap seseorang). Suatu (penetapan hukum) yang kini menjadi mudah diucapkan oleh sebagian orang yang memiliki ghirah agama yang tinggi dan sangat emosional, tanpa berpikir jeli.

Padahal jika seseorang mengkafirkan orang lain, sedangkan orang lain itu tidak kafir, maka tuduhan kafir kembali kepada dirinya.

Mengkafirkan seseorang akan mengakibatkan banyak konsekwensi hukum. Diantaranya, orang yang dikafirkan menjadi halal darah dan hartanya. Begitu pula semua konsekwensi hukum kafir lainnya. Sebaliknya, kita tidak boleh pula takut mengkafirkan orang yang telah dikafirkan oleh Allah dan RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun tetapi wajib membedakan antara takfir mu’ayyan (mengkafirkan terhadap pribadi tertentu) dengan takfir ghairil mu’ayyan (mengkafirkan secara umum, tidak kepada pribadi tertentu).

Untuk mengkafirkan pribadi tertentu, membutuhkan dua hal:

Pertama : Ada ketetapan yang sudah jelas (berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah. Lihat Syarh Kasyfu Asy Syubuhat Fi At Tauhid, hal. 57). Bahwa sesuatu yang dilakukan oleh seseorang tertentu merupakan perbuatan yang benar-benar bersifat kekafiran.

Kedua : Syarat-syarat kekafiran atas dirinya sudah tepat. Diantara syaratnya yang terpenting, ialah ia faham, bahwa perbuatannya adalah mukaffir (menyebabkan ia kafir). Sehingga apabila ia tidak faham (jahil), maka ia tidak kafir. Karena itulah para ulama menyebutkan, diantara syarat pelaksanaan hukum hadd (pidana), hendaknya si terpidana memahami haramnya sesuatu yang dilakukannya. Ini berkaitan dengan pelaksanaan hukum hadd (pidana), bukan hukum mengkafirkan. Tentunya dalam masalah hukum mengkafirkan, maka yang lebih layak dan utama ialah harus lebih berhati-hati. Allah Subhanahu w Ta’ala berfirman:

لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللهِ حُجَّةُُ بَعْدَ الرُّسُلِ

“Agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu”. [An Nisa’:165].

وَمَاكُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً

“dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul”. [Al Isra’:15].

وَمَاكَانَ اللهُ لِيُضِلَّ قَوْمًا بَعْدَ إِذْ هَدَاهُمْ حَتَّى يُبَيِّنَ لَهُم مَّايَتَّقُونَ

“Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskanNya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi”. [At Taubah:115]

Disamping syarat-syarat takfir harus terpenuhi, penghalang-penghalangnya juga harus tidak ada. Sehingga, jika seseorang melakukan perbuatan yang bersifat kekafiran, namun karena adanya paksaan atau karena kebingungan, maka ia tidak menjadi kafir. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

مَن كَفَرَ بِاللهِ مِن بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِاْلإِيمَانِ

“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)”. [An Nahl:106].

Juga berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengkisahkan tentang seseorang yang tengah putus asa kehilangan onta beserta seluruh perbekalannya di tengah padang sahara sendirian. Tiba-tiba onta beserta segala perbekalannya ditemukan kembali. Karena sangat gembiranya, ia sampai mengatakan : ‘Ya Allah, Engkau adalah hambaKu, dan aku adalah TuhanMu’. Dia keliru dalam berkata, disebabkan teramat gembiranya.

TENTANG BODOH (TIDAK MENGERTI), ADAKAH PELAKU KEKAFIRAN KARENA BODOH BISA TERMAAFKAN? [2]
Berkaitan dengan permasalahan pertanyaan ini, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menyangsikan pernyataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah yang mengatakan : …… seseorang bisa kafir hanya karena suatu perkataan yang ia cetuskan melalui lidahnya. Padahal ia mengucapkannya dengan tidak mengerti (bodoh), ternyata ia tidak termaafkan karena ketidak-mengertian (kebodohan)nya itu.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata, “Saya tidak yakin bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah berpandangan kalau kebodohan (ketidak-mengertian) tidak termaafkan (menyebabkan kekafirannya), kecuali jika kebodohannya benar-benar diakibatkan karena enggan mempelajari kebenaran. Misalnya, jika seseorang pernah mendengar kebenaran, tetapi ia tidak mempedulikannya dan mengabaikan upaya mempelajarinya. Maka yang ini tentu tidak termaafkan kebodohannya. Mengapa saya tidak yakin hal itu dari Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah ?

Sebab, beliau mempunyai pernyataan lain yang menunjukkan, bahwa beliau berpandangan ada maaf bagi kebodohan.

Beliau pernah ditanya tentang sesuatu yang menyebabkan orang diperangi karenanya, dan tentang sesuatu yang menyebabkan orang dinyatakan kafir karenanya?

Beliau menjawab: Rukun Islam yang lima, diawali dengan dua kalimat syahadat. Kemudian dilanjutkan empat rukun lainnya. Empat rukun Islam itu, jika seseorang telah mengikrarkan (mengimani)nya, namun kemudian tidak mengamalkannya karena bermalas-malas. Maka, sekalipun kami memeranginya -sebab ia tidak mengerjakannya- tetapi kami tidak mengkafirkannya. Ulama berselisih pendapat tentang orang yang meninggalkan shalat karena malas, bukan karena juhud (ingkar). Dan kami tidak mengkafirkan, kecuali dalam hal yang sudah menjadi kesepakatan semua ulama (jika ditinggalkan), yaitu dua kalimat syahadat.

Selanjutnya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah memaparkan secara panjang lebar tentang perkataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berkaitan dengan siapa-siapa orang yang dinyatakan kafir (secara umum) oleh beliau. Kemudian menukil perkataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berikutnya: Adapun tentang tuduhan dusta dan bohong atas nama kami -ialah seperti perkataan mereka- bahwa kami mengkafirkan semua orang, mewajibkan orang bergabung dengan kami jika sudah mampu memperlihatkan agamanya. Atau (menuduh) kami (telah) menganggap kafir terhadap orang yang tidak mengkafirkan orang lain, atau tidak mau memerangi orang lain. Semua ini dan tuduhan-tuduhan lainnya yang lebih keji, hanyalah kedustaan dan kebohongan. Dimaksudkan untuk menghalangi umat agar tidak bisa memahami agama Allah dan RasulNya.

Jika kami tidak berani mengkafirkan orang yang menyembah patung di kuburan Abdul Qadir (Al Jailani) atau patung di kuburan Ahmad Al Badawi dan lain-lainnya -disebabkan oleh kebodohan (ketidak mengertian) mereka- maka bagaimana mungkin kami akan mengkafirkan orang yang tidak musyrik kepada Allah hanya karena tidak mau bergabung dengan kami, atau tidak mau mengkafirkan orang lain atau tidak mau memerangi orang lain?!.

سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ

Maha suci Engkau Ya Allah!. Ini merupakan kedustaan yang besar… …

Selanjutnya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah mengatakan,”Perselisihan pendapat dalam masalah udzur bil jahli (termaafkan karena kebodohan), adalah seperti perselisihan fiqhiyah ijtihadiyah lainnya. Bisa jadi perselisihan itu hanya merupakan perselisihan lafdzi (redaksional) saja. Disebabkan berkaitan dengan penetapan hukum terhadap pribadi tertentu. Artinya, semua sepakat bahwa suatu perkataan tertentu adalah kufur, atau suatu perbuatan tertentu adalah kufur, atau meninggalkam perbuatan tertentu adalah kufur. Akan tetapi, tepatkah penetapan hukum kafir tersebut kepada seorang pribadi tertentu (mu’ayyan) dikarenakan syarat-syarat yang menuntut kekafirannya ada, sedangkan penghalangnya tidak ada? Ataukah penetapan hukum tersebut tidak dapat dikenakan kepadanya, karena sebagian syarat yang menuntut kekafirannya tidak ada, atau karena adanya sebagian penghalang?

Sebab, jahil (tidak mengerti, bodoh) terhadap perkara yang bersifat mengkafirkan terjadi karena dua macam sebab:

Pertama : Dari non muslim atau tidak beragama sama sekali, namun tidak pernah terlintas dalam benaknya, bahwa ada agama yang menyelisihi agama yang selama ini dianutnya. Maka orang semacam ini, berlaku hukum secara dhahir di dunia (yakni kafir). Adapun di akhirat, urusannya terserah kepada Allah l . Tetapi yang kuat, ia akan diuji di akhirat sesuai dengan kehendak Allah k . Allah-lah yang lebih mengetahui apa yang mereka kerjakan. Tetapi kita mengetahui, bahwa seseorang tidak akan masuk neraka kecuali disebabkan oleh suatu dosa, berdasarkan firman Allah:

وَلاَيَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا

“Dan Rabbmu tidak menganiaya seorang juapun”. [Al-Kahfi : 49].

Kita katakan, hukumnya berlangsung secara dhahir baginya di dunia, yakni hukum kafir. Sebab ia tidak beragama Islam. Jadi tak mungkin ia dihukumi sebagai Islam. Kemudian, mengapa kita katakan bahwa pendapat yang kuat, ia akan diuji di akhirat? Sebab, banyak atsar yang menerangkan tentang itu yang dibawakan oleh Imam Ibnu Al Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Thariq Al Hijratain ketika beliau membahas madzhab ke 8 tentang bagaimana kedudukan anak-anaknya orang musyrik. Di bawah pembahasan tentang peringkat para mukallaf yang keempatbelas.

Kedua : Dari seseorang yang beragama Islam, tetapi ia hidup dengan melakukan perkara yang bersifat mengkafirkan. Namun tidak terlintas dalam benaknya, bahwa tindakannya menyimpang dari Islam, dan tidak pula ada seseorang yang mengingatkannya. Maka, berlakulah hukum Islam secara dhahir baginya (artinya, ia disebut muslim, pen.). Adapun di akhirat, urusannya terserah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Itu dibuktikan dengan Al Qur’an, Sunnah serta perkataan para ulama.”

Selanjutnya Syaikh memaparkan dalil-dalil dari ayat-ayat Al Qur’an, Sunnah dan perkataan Ulama, mulai dari Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah sampai Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab –rahimahumullah-. (Lihat hal. 52-55).

Seterusnya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata,“Jadi, pada asalnya orang yang menisbatkan diri sebagai Islam, tetap dalam keadaan Islam-nya, sampai terbukti secara jelas, bahwa Islam telah lenyap dari dirinya berdasarkan tuntutan dalil syar’i. Tidak boleh secara gegabah menyatakannya sebagai kafir. Sebab, disana terdapat dua resiko berat (yang harus dihadapi):

Pertama : Membuat kebohongan atas nama Allah dalam kaitannya dengan penetapan hukum. Dan membuat kebohongan terhadap orang yang dihukumi kafir dalam kaitannya dengan pembuatan julukan kafir terhadapnya.

Tentang bohong atas nama Allah, itu jelas, sebab ia menghukumi kafir terhadap seseorang yang tidak dikafirkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jadi, seperti orang yang mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah. Sebab menetapkan hukum kafir atau tidak, hanya menjadi hak Allah Subhanahu wa Ta’ala saja , seperti juga hak menetapkan hukum haram atau halal.

Tentang membuat kebohongan terhadap orang yang dihukumi kafir, karena telah memberikan sifat kepada seorang muslim dengan sifat sebaliknya. Ia katakana, kafir. Padahal orang tersebut terlepas dari kekafiran.

Kedua : Pantaslah jika penyebutan (anggapan) kafir itu membalik (kembali) kepada dirinya. Berdasarkan riwayat yang terdapat dalam Shahih Muslim, dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu. Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

إِذَا كَفَّرَ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا –وفي رواية-: إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ

“Bila seseorang mengkafirkan saudaranya, maka kekafiran itu kembali pada salah seorang diantara keduanya. Dalam riwayat lain: jika benar tuduhannya…, kalau tidak, (maka) akan membalik kepada dirinya”. [HR Muslim, Kitab Al Iman, Bab: Bayan Hali Man Qala Li’akhihi Ya Kafir]”

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin kemudian mengemukakan dalil lain yang senada, serta menjelaskan maksudnya (namun, di sini kami tidak menukilnya, pen.). Berikutnya beliau mengatakan.

“Itulah resiko besar kedua. Yakni kembalinya tuduhan itu kepada penuduh, jika saudaranya terbebas dari kekafiran. Ini merupakan resiko besar yang benar-benar dikhawatirkan akan mengenai orang seperti itu. Sebab pada umumnya, orang yang terburu-buru menyebut muslim sebagai kafir, kagum terhadap kegiatan amal dirinya dan meremehkan orang lain. Dengan demikian, bergabunglah dalam dirinya rasa kagum terhadap amal dirinya yang justeru dapat menghanguskannya, dengan kesombongan yang akan mengakibatkan datangnya azab Allah Azza wa Jalla di neraka. Sebagaimana telah diterangkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلََّ : الكِبْرِيَاءُ رِدَائِي وَالْعَظَمَةُ إِزَارِي، فَمَنْ نَازَعَنِي وَاحِدًا مِنْهُمَا قَذَفْتُهُ فِي النَّارِ

“Allah Azza wa Jalla berfirman,”Kesombongan adalah selendangKu dan keagungan adalah kainKu. Maka, barangsiapa yang ingin mengambil salah satunya dariKu, niscaya Aku akan melemparkannya ke dalam neraka”.

PENUTUP
Demikianlah, pernyataan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin yang kami nukilkan secara bebas dan ringkas dari dua kitab beliau. Hendaknya seseorang jangan gegabah melakukan takfir (menjatuhkan hukum kafir kepada orang lain). Karena takfir merupakan hukum syar’i yang kembalinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan, ketika ditanya tentang hukum mengkafirkan masyarakat, beliau menjawab:

“Tidaklah merupakan hak setiap orang untuk melontarkan takfir (menjatuhkan hukum kafir kepada orang lain), atau berbicara tentang takfir terhadap jama’ah atau individu. Takfir mempunyai pedoman-pedomannya. Barangsiapa yang melakukan satu pembatal diantara pembatal-pembatal Islam, maka ia dihukumi sebagai kafir.

Pembatal-pembatal Islam sudah diketahui. Yang paling besar ialah syirik kepada Allah Azza wa Jalla, mengaku mengetahui ilmu ghaib, dan berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah.

Allah berfirman,

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir”. [Al Ma’idah : 44].

Jadi persoalan takfir adalah persoalan yang berbahaya. Tidak boleh setiap orang berbicara melancarkan tuduhan kafir kepada orang lain. Persoalan ini merupakan wewenang mahkamah syar’iyah, wewenang para ahli ilmu (ulama) yang betul-betul memiliki kedalaman ilmu. Yaitu orang-orang yang memahami Islam, memahami pembatal-pembatal Islam, memahami keadaan-keadaan serta mempelajari situasi dan kondisi manusia dan masyarakat. Merekalah orang-orang yang memiliki hak untuk takfir (menjatuhkan hukum kafir kepada seseorang) dan hak-hak lainnya.

Adapun orang-orang bodoh, individu-individu umat serta orang-orang yang baru setengah-setengah dalam belajar, maka mereka tidak mempunyai hak untuk melancarkan tuduhan kafir kepada pribadi-pribadi, jama’ah-jama’ah atau negara-negara. Sebab, mereka tidak mempunyai keahlian dalam masalah hukum ini. (Lihat Al Muntaqa min Fatawa Fadhilat, Asy Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan I/111-112, jawaban soal no. 63). Demikian. Wa nas alullaha at taufiq.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12//Tahun VI/1423H/2003M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1] Dari Kitab Al Al Qaul Al Mufid ‘Ala Kitab At Tauhid, jilid II halaman 266-272.
[2] Syarh Kasyfu Asy Syubuhat (Wa Yalihi Syarh Al Ushul As Sittah), hal. 46-60, I’dad Fahd bin Nashir As Sulaiman, Daar Ats Tsurayya.]

Islam

Siapakah Al-Hasan bin Shalih bin Hayy?

Renungan Mendalam dari Sejarah Para Imam

Saudaraku, tahukah Anda tentang seorang ahli hadits, ahli fikih dan ahli ibadah yang bernama Al-Hasan bin Shalih bin Hayy?

Dia adalah rawi hadits yang terpercaya dan kokoh hapalannya, ahli ibadah yang menghabiskan kebanyakan waktu malamnya dengan ibadah dan sering menangis hingga pingsan karena takut kepada Allah.

Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullah berkata tentangnya,

الإِمَامُ الكَبِيْرُ، أَحَدُ الأَعْلاَمِ، أَبُو عَبْدِ اللهِ الهَمْدَانِيُّ، الثَّوْرِيُّ، الكُوْفِيُّ، الفَقِيْهُ، العَابِدُ

“Imam besar, salah seorang tokoh, dia adalah Abu Abdillah Al-Hamadani Ats-Tsauri Al-Kufi, seorang yang fakih, ahli ibadah.” [Siyar A’lamin Nubala’, 7/52]

Tetapi, para ulama besar Ahlus Sunnah wal Jama’ah seperti Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri, Yusuf bin Asbath, Zaaidah dan selain mereka rahimahumullah mentahdzir Al-Hasan bin Shalih bin Hayy.

Abu Nu’aim rahimahullah berkata,

دَخَلَ الثَّوْرِيُّ يَوْمَ الجُمُعَةِ مِنَ البَابِ القِبْلِيِّ، فَإِذَا الحَسَنُ بنُ صَالِحٍ يُصَلِّي، فَقَالَ: نَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ خُشُوْعِ النِّفَاقِ، وَأَخَذَ نَعْلَيْهِ، فَتَحوَّلَ إِلَى سَارِيَةٍ أُخْرَى.

“Sufyan Ats-Tsauri masuk ke masjid di hari Jum’at melalui salah satu pintu, ternyata Al-Hasan bin Shalih sedang sholat, maka Sufyan Ats-Tsauri berkata: Kami berlindung kepada Allah dari khusyu’ kemunafikan. Lalu beliau mengambil sandalnya dan berpindah ke sisi yang lain.” [Siyar A’lamin Nubala’, 7/53]

Adz-Dzahabi rahimahullah juga menyebutkan,

كَانَ زَائِدَةُ يَجْلِسُ فِي المَسْجِدِ، يُحذِّرُ النَّاسَ مِنِ ابْنِ حَيٍّ، وَأَصْحَابِه

“Zaidah duduk di masjid untuk mentahdzir manusia dari Al-Hasan bin Shalih bin Hayy dan teman-temannya.” [Siyar A’lamin Nubala’, 7/54]

Abu Shalih Al-Farra’ rahimahullah berkata,

حَكَيتُ لِيُوْسُفَ بنِ أَسْبَاطٍ عَنْ وَكِيْعٍ شَيْئاً مِنْ أَمرِ الفِتَن، فَقَالَ: ذَاكَ يُشْبِهُ أُسْتَاذَهُ. يَعْنِي: الحَسَنَ بنَ حَيٍّ. فَقُلْتُ لِيُوْسُفَ: أَمَا تَخَافُ أَنْ تَكُوْنَ هَذِهِ غِيبَةً? فَقَالَ: لِمَ يَا أَحْمَقُ، أَنَا خَيْرٌ لِهَؤُلاَءِ مِنْ آبَائِهِم وَأُمَّهَاتِهِم، أَنَا أَنْهَى النَّاسَ أَنْ يَعْمَلُوا بِمَا أَحْدَثُوا، فَتَتْبَعُهُم أَوْزَارُهُم، وَمَنْ أَطْرَاهُم كَانَ أَضَرَّ عَلَيْهِم.

“Aku menghikayatkan kepada Yusuf bin Asbath sesuatu tentang Waki’ terkait perkara ‘fitnah’. Maka beliau berkata: Dia menyerupai gurunya, yaitu Al-Hasan bin Hayy. Aku pun berkata kepada Yusuf: Apakah kamu tidak takut ini menjadi ghibah? Maka beliau berkata: Kenapa wahai dungu, justru aku lebih baik bagi mereka daripada bapak dan ibu mereka sendiri, aku melarang manusia agar tidak mengamalkan bid’ah yang mereka ada-adakan, agar dosa-dosa mereka tidak berlipat-lipat, orang yang memuji mereka justru yang membahayakan mereka.” [Siyar A’lamin Nubala’, 7/54]

Abu Sa’id Al-Asyaj rahimahullah berkata,

سَمِعْتُ ابْنَ إِدْرِيْسَ -وذُكِر لَهُ صَعْقُ الحَسَنِ بنِ صَالِحٍ- فَقَالَ: تَبسُّمُ سُفْيَانَ، أَحَبُّ إِلَيْنَا مِنْ صَعْقِ الحَسَنِ.

“Aku mendengar Ibnu Idris ketika disebutkan kepadanya tentang pingsannya Al-Hasan bin Shalih karena takut kepada Allah, maka beliau berkata: Senyumnya Sufyan lebih kami cintai daripada pingsannya Al-Hasan.” [Siyar A’lamin Nubala’, 7/54]

Al-Imam Ahmad bin Yunus rahimahullah yang telah belajar kepada Al-Hasan bin Shalih selama 20 tahun pun berkata,

لَوْ لَمْ يُولَدِ الحَسَنُ بنُ صَالِحٍ، كَانَ خَيْراً لَهُ.

“Andaikan Al-Hasan bin Shalih tidak dilahirkan, itu lebih baik baginya.” [Siyar A’lamin Nubala’, 7/54]

Inilah beberapa penukilan tahdzir ulama besar Ahlus Sunnah wal Jama’ah di masa itu terhadap Al-Hasan bin Shalih bin Hayy, padahal dia adalah seorang ahli hadits yang kuat dan banyak hapalannya, ahli fikih dan ahli ibadah.

Ada apa dengannya?

Ketahuilah saudaraku, para ulama mentahdzirnya karena satu bid’ah, sebagaimana kata Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah,

ذَاكَ رَجُلٌ يَرَى السَّيْفَ عَلَى أُمَّةِ مُحَمَّدٍ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

“Dia adalah orang yang berpendapat boleh memerangi (Pemerintah zalim) umat Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam.” [Siyar A’lamin Nubala’, 7/53]

Apakah dia pernah memberontak dengan senjata?

Sama sekali tidak pernah saudaraku, dia hanya memiliki pemikiran tersebut, namun tidak pernah melakukannya dan tidak pula terang-terangan menyebarkannya. Adz-Dzahabi rahimahullah berkata,

كَانَ يَرَى الحَسَنُ الخُرُوْجَ عَلَى أُمَرَاءِ زَمَانِهِ لِظُلْمِهِم وَجَوْرِهِم، وَلَكِنْ مَا قَاتَلَ أَبَداً

“Al-Hasan berpendapat bolehnya memberontak terhadap Pemerintah di masanya karena kezaliman dan ketidakadilan mereka, akan tetapi dia tidak pernah berperang selamanya.” [Siyar A’lamin Nubala’, 7/58]

Kesimpulan Adz-Dzahabi rahimahullah,

هُوَ مِنْ أَئِمَّةِ الإِسْلاَمِ، لَوْلاَ تَلَبُّسُهُ بِبِدعَةٍ

“Dia termasuk ulama Islam, kalaulah tidak melakukan bid’ah.” [Siyar A’lamin Nubala’, 7/52]

Perhatikanlah saudaraku rahimakallaah, hanya satu bid’ah, hanya satu kesalahan, tapi besar, karena menyelisihi prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka para ulama besar Ahlus Sunnah wal Jama’ah di masa itu melarang manusia untuk belajar kepadanya.

Perhatikan juga, para ulama tidak tertipu dengan keluasan ilmunya, kekuatan hapalannya dan kehebatan ibadahnya, hal itu karena para ulama benar-benar memahami manhaj dan aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Inilah pentingnya menuntut ilmu agama bagi Ahlus Sunnah.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

~dari http://sofyanruray.info/renungan-dan-peringatan-terkait-bi…/

“Kalau mau katakan kami khawarij, maka katakan khawarij juga pada salaf yang dahulu memberontak!”

Pernahkah Anda mendengar perkataan semisal di atas? Simak kisah berikut:

Ibnu Rajab menceritakan dalam Syarh ‘Ilal At Tirmidzi (2/893), bahwa Al Marrudzi (salah seorang murid Imam Ahmad bin Hanbal) bercerita:

Aku menemui Al Karabisi saat ia masih dalam keadaan lurus, membela sunnah, dan menampakkan dukungan kepada Abu ‘Abdillah (yakni, Imam Ahmad).

Aku katakan padanya: “Sungguh orang-orang ingin memperlihatkan kitab Al Mudallisin ini kepada Abu ‘Abdillah (Imam Ahmad). Maka sebaiknya engkau menyesal telah menulis kitab ini ini, atau aku akan melaporkan ini kepada beliau.”

Maka Al Karabisi menjawab: “Sungguh Abu ‘Abdillah (Imam Ahmad) adalah seorang yang soleh. Orang semisal beliau telah dikaruniai kemampuan untuk menemukan kebenaran. Aku setuju kitab ini diperlihatkan padanya. Abu Tsaur, Ibnu ‘Aqil, dan Hubaisy menyuruhku untuk menghancurkan kitab ini, tapi aku menolaknya dan malah kukatakan kepada mereka: Aku akan semakin gencar mempromosikan kitabku ini!”

Al Marrudzi melanjutkan ceritanya: Maka ia pun tetap bersikeras menolak untuk rujuk dari kitab tersebut. Maka kitab itupun didatangkan ke Abu ‘Abdillah (Imam Ahmad) dalam keadaan tidak tahu kitab itu dikarang oleh siapa. Ternyata isi kitab tersebut terdapat celaan terhadap Al A’masy (seorang ulama hadits) dan dukungan terhadap Al Hasan bin Shalih. Dikatakan di kitab tersebut:

إن قلتم: إن الحسن بن صالح كان يرى رأي الخوارج فهذا ابن الزبير قد خرج

“Jika engkau mengatakan bahwa Al Hasan bin Shalih itu berpemikiran khawarij, maka tengoklah bahwa Ibnuz Zubair (seorang shahabat Nabi) pun ternyata memberontak.. (Berarti dia khawarij juga, pent)!”

Setelah dibacakan kepada Imam Ahmad, maka beliau pun berkomentar: “Buku ini berisi kompilasi bagi para penyelisih sunnah yang mereka tidak mampu berhujjah. Ingatkan orang akan bahaya buku ini, dan larang mereka membacanya!”

[selesai nukilan]

sumber: https://www.facebook.com/ristiyan.ragil/posts/10153967722293190?hc_location=ufi

 

Islam

Adab Seorang Murid Terhadap Guru

Guru merupakan aspek besar dalam penyebaran ilmu, apalagi jika yang disebarkan adalah ilmu agama yang mulia ini. Para pewaris nabi begitu julukan mereka para pemegang kemuliaan ilmu agama. Tinggi kedudukan mereka di hadapan Sang Pencipta.

Ketahuilah saudaraku para pengajar agama mulai dari yang mengajarkan iqra sampai para ulama besar, mereka semua itu ada di pesan Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam. Beliau bersabda,

ليس منا من لم يجل كبيرنا و يرحم صغيرنا و يعرف لعالمنا حقه

“Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda serta yang tidak mengerti hak ulama” (HR. Ahmad dan dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami).

Tersirat dari perkatanya Shallallaahu ‘alaihi wa salam, bahwa mereka para ulama wajib diperlakukan sesuai dengan haknya. Akhlak serta adab yang baik merupakan kewajiban yang tak boleh dilupakan bagi seorang murid.

Guru kami DR. Umar As-Sufyani Hafidzohullah mengatakan, “Jika seorang murid berakhlak buruk kepada gurunya maka akan menimbulkan dampak yang buruk pula, hilangnya berkah dari ilmu yang didapat, tidak dapat mengamalkan ilmunya, atau tidak dapat menyebarkan ilmunya. Itu semua contoh dari dampak buruk.”

Maka seperti adab yang baik kepada seorang guru?

Menghormati guru

Para Salaf, suri tauladan untuk manusia setelahnya telah memberikan contoh dalam penghormatan terhadap seorang guru. Sahabat Abu Sa’id Al-Khudri Radhiallahu ‘anhu berkata,

كنا جلوساً في المسجد إذ خرج رسول الله فجلس إلينا فكأن على رؤوسنا الطير لا يتكلم أحد منا

“Saat kami sedang duduk-duduk di masjid, maka keluarlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian duduk di hadapan kami. Maka seakan-akan di atas kepala kami terdapat burung. Tak satu pun dari kami yang berbicara” (HR. Bukhari).

Ibnu Abbas seorang sahabat yang ‘alim, mufasir Quran umat ini, seorang dari Ahli Bait Nabi pernah menuntun tali kendaraan Zaid bin Tsabit al-Anshari radhiallahu ‘anhu dan berkata,

هكذا أمرنا أن نفعل بعلمائنا

“Seperti inilah kami diperintahkan untuk memperlakukan para ulama kami”.

Berkata Abdurahman bin Harmalah Al Aslami,

ما كان إنسان يجترئ على سعيد بن المسيب يسأله عن شيء حتى يستأذنه كما يستأذن الأمير

“Tidaklah sesorang berani bertanya kepada Said bin Musayyib, sampai dia meminta izin, layaknya meminta izin kepada seorang raja”.

Ar-Rabi’ bin Sulaiman berkata,

مَا وَاللَّهِ اجْتَرَأْتُ أَنْ أَشْرَبَ الْمَاءَ وَالشَّافِعِيُّ يَنْظُرُ إِلَيَّ هَيْبَةً لَهُ

“Demi Allah, aku tidak berani meminum air dalam keadaan Asy-Syafi’i melihatku karena segan kepadanya”.

Diriwayatkan oleh Al–Imam Baihaqi, Umar bin Khattab mengatakan,

تواضعوا لمن تعلمون منه

“Tawadhulah kalian terhadap orang yang mengajari kalian”.

Al Imam As Syafi’i berkata,

كنت أصفح الورقة بين يدي مالك صفحًا رفيقًا هيبة له لئلا يسمع وقعها

“Dulu aku membolak balikkan kertas di depan Malik dengan sangat lembut karena segan padanya dan supaya dia tak mendengarnya”.

Abu ‘Ubaid Al Qosim bin Salam berkata, “Aku tidak pernah sekalipun mengetuk pintu rumah seorang dari guruku, karena Allah berfirman,

وَلَوْ أَنَّهُمْ صَبَرُوا حَتَّى تَخْرُجَ إِلَيْهِمْ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Kalau sekiranya mereka sabar, sampai kamu keluar menemui mereka, itu lebih baik untuknya” (QS. Al Hujurat: 5).

Sungguh mulia akhlak mereka para suri tauladan kaum muslimin, tidaklah heran mengapa mereka menjadi ulama besar di umat ini, sungguh keberkahan ilmu mereka buah dari akhlak mulia terhadap para gurunya.

Memperhatikan adab-adab ketika berada di depan guru

Adab Duduk

Syaikh Bakr Abu Zaid Rahimahullah di dalam kitabnya Hilyah Tolibil Ilm mengatakan, “Pakailah adab yang terbaik pada saat kau duduk bersama syaikhmu, pakailah cara yang baik dalam bertanya dan mendengarkannya.”

Syaikh Utsaimin mengomentari perkataan ini, “Duduklah dengan duduk yang beradab, tidak membentangkan kaki, juga tidak bersandar, apalagi saat berada di dalam majelis.”

Ibnul Jamaah mengatakan, “Seorang penuntut ilmu harus duduk rapi, tenang, tawadhu’, mata tertuju kepada guru, tidak membetangkan kaki, tidak bersandar, tidak pula bersandar dengan tangannya, tidak tertawa dengan keras, tidak duduk di tempat yang lebih tinggi juga tidak membelakangi gurunya”.

Adab Berbicara

Berbicara dengan seseorang yang telah mengajarkan kebaikan haruslah lebih baik dibandingkan jika berbicara kepada orang lain. Imam Abu Hanifah pun jika berada depan Imam Malik ia layaknya seorang anak di hadapan ayahnya.

Para Sahabat Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam, muridnya Rasulullah, tidak pernah kita dapati mereka beradab buruk kepada gurunya tersebut, mereka tidak pernah memotog ucapannya atau mengeraskan suara di hadapannya, bahkan Umar bin khattab yang terkenal keras wataknya tak pernah menarik suaranya di depan Rasulullah, bahkan di beberapa riwayat, Rasulullah sampai kesulitan mendengar suara Umar jika berbicara. Di hadist Abi Said al Khudry radhiallahu ‘anhu juga menjelaskan,

كنا جلوساً في المسجد إذ خرج رسول الله فجلس إلينا فكأن على رؤوسنا الطير لا يتكلم أحد منا

“Saat kami sedang duduk-duduk di masjid, maka keluarlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian duduk di hadapan kami. Maka seakan-akan di atas kepala kami terdapat burung. Tak satu pun dari kami yang berbicara” (HR. Bukhari).

Sungguh adab tersebut tak terdapatkan di umat manapun.

Adab Bertanya

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَتَعْلَمُونَ

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS. An Nahl: 43).

Bertanyalah kepada para ulama, begitulah pesan Allah di ayat ini, dengan bertanya maka akan terobati kebodohan, hilang kerancuan, serta mendapat keilmuan. Tidak diragukan bahwa bertanya juga mempunyai adab di dalam Islam. Para ulama telah menjelaskan tentang adab bertanya ini. Mereka mengajarkan bahwa pertanyaan harus disampaikan dengan tenang, penuh kelembutan, jelas, singkat dan padat, juga tidak menanyakan pertanyaan yang sudah diketahui jawabannya.

Di dalam Al-Qur’an terdapat kisah adab yang baik seorang murid terhadap gurunya, kisah Nabi Musa dan Khidir. Pada saat Nabi Musa ‘alaihis salam meminta Khidir untuk mengajarkannya ilmu,

إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْراً

“Khidir menjawab, Sungguh, engkau(musa) tidak akan sanggup sabar bersamaku” (QS. Al Kahfi: 67).

Nabi Musa, Kaliimullah dengan segenap ketinggian maqomnya di hadapan Allah, tidak diizinkan untuk mengambil ilmu dari Khidir, sampai akhirnya percakapan berlangsung dan membuahkan hasil dengan sebuah syarat dari Khidir.

فَلا تَسْأَلْنِي عَنْ شَيْءٍ حَتَّى أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْراً

“Khidir berkata, jika engkau mengikuti maka janganlah engkau menanyakanku tentang sesuatu apapun, sampai aku menerangkannya” (QS. Al Kahfi:70).

Jangan bertanya sampai diizinkan, itulah syarat Khidir kepada Musa. Maka jika seorang guru tidak mengizinkannya untuk bertanya maka jangalah bertanya, tunggulah sampai ia mengizinkan bertanya. Kemudian, doakanlah guru setelah bertanya seperti ucapan, Barakallahu fiik, atau Jazakallahu khoiron dan lain lain. Banyak dari kalangan salaf berkata,

ما صليت إلا ودعيت لوالدي ولمشايخي جميعاً

“Tidaklah aku mengerjakan sholat kecuali aku pasti mendoakan kedua orang tuaku dan guru guruku semuanya.”

Adab dalam Mendengarkan Pelajaran

Para pembaca, bagaimana rasanya jika kita berbicara dengan seseorang tapi tidak didengarkan? Sungguh jengkel dibuatnya hati ini. Maka bagaiamana perasaan seorang guru jika melihat murid sekaligus lawan bicaranya itu tidak mendengarkan? Sungguh merugilah para murid yang membuat hati gurunya jengkel.

Agama yang mulia ini tak pernah mengajarkan adab seperti itu, tak didapati di kalangan salaf adab yang seperti itu. Sudah kita ketahui kisah Nabi Musa yang berjanji tak mengatakan apa-apa selama belum diizinkan. Juga para sahabat Rasulullah yang diam pada saat Rasulullah berada di tengah mereka.

Bahkan diriwayatkan Yahya bin Yahya Al Laitsi tak beranjak dari tempat duduknya saat para kawannya keluar melihat rombongan gajah yang lewat di tengah pelajaran, yahya mengetahui tujuannya duduk di sebuah majelis adalah mendengarkan apa yang dibicarakan gurunya bukan yang lain.

Apa yang akan Yahya bin Yahya katakan jika melihat keadaan para penuntut ilmu saat ini, jangankan segerombol gajah yang lewat, sedikit suarapun akan dikejar untuk mengetahuinya seakan tak ada seorang guru di hadapannya, belum lagi yang sibuk berbicara dengan kawan di sampingnya, atau sibuk dengan gadgetnya.

Mendoakan guru

Banyak dari kalangan salaf berkata,

ما صليت إلا ودعيت لوالدي ولمشايخي جميعاً

“Tidaklah aku mengerjakan sholat kecuali aku pasti mendoakan kedua orang tuaku dan guru-guruku semuanya.”

Memperhatikan adab-adab dalam menyikapi kesalahan guru

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

كل ابن آدم خطاء و خير الخطائين التوابون

“Setiap anak Adam pasti berbuat kesalahan, dan yang terbaik dari mereka adalah yang suka bertaubat” (HR. Ahmad)

Para guru bukan malaikat, mereka tetap berbuat kesalahan. Jangan juga mencari cari kesalahannya, ingatlah firman Allah.

وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ

“Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya” (QS. Al Hujurot:12).

Allah melarang mencari kesalahan orang lain dan menggibahnya, larangan ini umum tidak boleh mencari kesalahan siapapun. Bayangkan bagaimana sikap seseorang jika ia mendengar aib saudara atau kawannya? Bukankah akan menyebabkan dampak yang buruk akan hubungan mereka? Prasangka buruk akan mencuat, jarak akan tambah memanjang, keinginan akrab pun tak terbenak lagi di pikiran.

Lantas, bagaimanakah jika aib para ulama, dan para pengajar kebaikan yang tersebar? Sungguh manusia pun akan menjauhi mereka, ilmu yang ada pada mereka seakan tak terlihat, padahal tidaklah lebih di butuhkan oleh manusia melainkan para pengajar kebaikan yang menuntut hidupnya ke jalan yang benar. Belum lagi aib-aib dusta yang tersebar tentang mereka.

Sungguh baik para Salaf dalam doanya,

اللهم استر عيب شيخي عني ولا تذهب بركة علمه مني

“Ya Allah tutupilah aib guruku dariku, dan janganlah kau hilangkan keberkahan ilmuya dari ku.”

Para salaf berkata,

لحوم العلماء مسمومة

“Daging para ulama itu mengandung racun.”

Guru kami DR. Awad Ar-Ruasti Hafidzohullah menjelaskan tentang makna perkataan ini, “Siapa yang suka berbicara tentang aib para ulama, maka dia layaknya memakan daging para ulama yang mengandung racun, akan sakit hatinya, bahkan dapat mematikan hatinya.”

Namun, ini bukan berarti menjadi penghalang untuk berbicara kepada sang guru atas kesalahannya yang tampak, justru seorang tolabul ‘Ilm harus berbicara kepada gurunya jika ia melihat kesalahan gurunya. Adab dalam menegur merekapun perlu diperhatikan mulai dari cara yang sopan dan lembut saat menegur dan tidak menegurnya di depan orang banyak.

Meneladani penerapan ilmu dan akhlaknya

Merupakan suatu keharusan seorang penuntut ilmu mengambil ilmu serta akhlak yang baik dari gurunya. Kamipun mendapati di tempat kami menimba ilmu saat ini, atau pun di tanah air, para guru, ulama, serta ustad begitu tinggi akhlak mereka, tak lepas wajahnya menebarkan senyum kepada para murid, sabarnya mereka dalam memahamkan pelajaran, sabar menjawab pertanyaan para tolibul ilm yang tak ada habisnya, jika berpapasan di jalan malah mereka yang memulai untuk bersalaman, sungguh akhlak yang sangat terpuji dari para penerbar sunnah.

syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Jika gurumu itu sangat baik akhlaknya, jadikanlah dia qudwah atau contoh untukmu dalam berakhlak. Namun bila keadaan malah sebaliknya, maka jangan jadikan akhlak buruknya sebagai contoh untukmu, karena seorang guru dijadikan contoh dalam akhlak yang baik, bukan akhlak buruknya, karena tujuan seorang penuntut ilmu duduk di majelis seorang guru mengambil ilmunya kemudian akhlaknya.”

Sabar dalam membersamainya

Tidak ada satupun manusia di dunia ini kecuali pernah berbuat dosa, sebaik apapun agamanya, sebaik apapun amalnya nya, sebanyak apapun ilmunya, selembut apapun perangainya, tetap ada kekurangannya. Tetap bersabarlah bersama mereka dan jangan berpaling darinya.

Allah berfirman :

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَن ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas” (QS.Al Kahfi:28).

Karena tidak ada yang lebih baik kecuali bersama orang orang yang berilmu dan yang selalu menyeru Allah Azza wa Jalla.

Al Imam As Syafi Rahimahullah mengatakan,

اصبر على مر من الجفا معلم

فإن رسوب العلم في نفراته

“Bersabarlah terhadap kerasnya sikap seorang guru
Sesungguhnya gagalnya mempelajari ilmu karena memusuhinya”

Besar jasa mereka para guru yang telah memberikan ilmunya kepada manusia, yang kerap menahan amarahnya, yang selalu merasakan perihnya menahan kesabaran, sungguh tak pantas seorang murid ini melupakan kebaikan gurunya, dan jangan pernah lupa menyisipkan nama mereka di lantunan doamu. Semoga Allah memberikan rahmat dan kebaikan kepada guru guru kaum Muslimin. Semoga kita dapat menjalankan adab adab yang mulia ini.

Wa Billahi Taufiq

Madinah, 6 Rabiul Awal 1436 H

*

Penulis: Muhammad Halid Syari

Artikel Muslim.Or.Id